Nabi Muhammad Saw pernah bersabda bahwa “Shalat itu adalah mi’raj-nya orang-orang mukmin”. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah. Mungkin bagi kita yang awam agak canggung dengan istilah mi’raj, yang hanya kita kenal sebagai peristiwa luar biasa hebat yang pernah dialami Nabi Muhammad Saw dan menghasilkan perintah sebuah shalat.
Mengapa Rasullullah mengatakan bahwa shalat merupakan mi’raj-nya orang mu’min ? Adakah kaitannya dengan mi’rajnya Rasulullah Saw, karena perintah shalat adalah hasil perjalanan beliau ketika berjumpa dengan Allah di Shidratul Muntaha? Mungkinkah kita bisa melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah Saw melalui shalat? Apakah kita bisa bertemu dengan Allah ketika shalat? Begitu mudahkah bertemu dengan Allah? Atau jika jawabannya tidak, mengapa kita diperintahkan untuk shalat? Adakah rahasia dibalik shalat?.
Misteri ini hampir tak terpecahkan, karena kebanyakan orang menanggapi hadits tersebut dengan sikap apriori, dan berkeyakinan bahwa manusia tidak mungkin bertemu dengan Allah di dunia. Akibatnya, kebanyakan orang tak mau pusing mengenai hakikat shalat atau bahkan hanya menganggap shalat sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.
Dilain pihak ada peshalat yang telah mengerahkan segenap daya untuk mencapai khusyu’, akan tetapi tetap saja pikiran masih menerawang tidak karuan sehingga tanpa kita sadari sudah keluar dari “kesadaran shalat”. Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang shalat akan tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan shalat itu sendiri, yaitu bergerser niatnya bukan lagi karena Allah.
“…..Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya.” (QS Al-Ma’un 107 : 4-6)
Pada ayat kelima firman Allah tersebut, didahului oleh kalimat Alladzina (isim mausul) sebagai kata sambung untuk menerangkan kalimat sebelumnya yaitu saahun (orang yang lalai). Celakalah baginya karena dasar perbuatan shalatnya telah bergeser dari “karena Allah” menjadi karena ingin dipuji oleh orang lain (riya)”. Atau, bagi orang yang dalam shalatnya tidak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan Tuhannya sehingga pikirannya melayang liar tanpa kendali. Shalat yang demikian adalah shalat yang shahun. Keadaan tersebut bertentangan dengan firman Allah yang menghendaki shalat sebagai jalan untuk mengingat Allah.
“…maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku…”. (QS Thaha 20 : 14)
“……. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS Al A’raaf 7 : 205)
Inilah rangkaian ayat yang menunjukkan kepada masalah kedalaman ibadah shalat, yaitu untuk mengingat Allah, bukan sekedar membungkuk bersujud dan komat-kamit tiada sadar dengan yang ia lakukan. Shalat yang hanya komat-kamit inilah yang banyak dilakukan selama ini, sehingga sampai sekarang banyak yang tak mampu mencerminkan watak mushallin yang sebenarnya, yaitu tercegah dari perbuatan keji dan munkar.
Allah sudah menyatakan dalam Al Qur'an bahwa seorang yang melakukan liqa dengan Nya di saat ia melaksanakan sholat, maka ia mendapatkan salam dan kehormatan dari Allah.
"Penghormatan yang diberikan Allah kepada mereka pada hari mereka menemui-Nya, adalah Salam dan Allah menyediakan juga bagi mereka pahala yang mulia". (QS Al Ahzab 33 : 44)
Sesungguhnya bacaan shalat saat kita duduk tahiyat adalah dialog antara Rasulullah Saw dengan Allah Swt saat beliau bertemu dengan-Nya pada peristiwa Isra dan Mi'raj.
Pada malam terjadinya Isra Mi'raj, Nabi Muhammad Saw melakukan perjalanan ke Sidrahtul Muntaha hingga tiba di Arsy dan bertemu dengan Allah Swt. Bayangkanlah betapa indah dan luar biasa dahsyatnya moment ini, sehingga terjadilah percakapan agung antara Muhammad Rasulullah SAW dengan Allah Subhanahu wata'ala, saat Rasulullah SAW mendekat dan memberi salam penghormatan kepada Allah SWT.
ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWATUTH THAYYIBAATU LILLAAH.
Semua ucapan penghormatan, pengagungan dan pujian hanyalah milik (Engkau Ya) Allah.
Kemudian Allah SWT menjawab sapaannya :
ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WABARAKAATUH.
Segala pemeliharaan dan pertolongan Allah untukmu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan segala karunia-Nya.
Mendapatkan jawaban seperti ini, Rasulullah SAW tidak merasa jumawa atau berbesar diri, justru beliau tidak lupa dengan umatnya. Beliau menjawab dengan ucapan :
ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADILLAAHISH SHAALIHIIN.
Semoga perlindungan dan pemeliharaan diberikan kepada kami dan semua hamba Allah yang shalih.
Bacalah percakapan mulia itu sekali lagi… itu adalah percakapan Sang Tuhan dan hamba-Nya, mereka saling menghormati satu sama lain, menghargai satu sama lain dan lihat betapa Rasulullah SAW mencintai kita umatnya, bahkan beliau tidak lupa dengan kita ketika dia liqa dan bermuwajaha di hadapan Allah. Kemudian beliau semakin mendekat kepada Allah Swt, sehingga tersingkaplah hijab-Nya yang terdalam, yang membuat beliau terfana dan bersaksi :
ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAAH.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Jadilah rangkaian percakapan dalam peristiwa ini menjadi suatu bacaan dalam SHALAT yaitu pada posisi Tahiyat Awal dan Akhir, yang kita ikuti dengan shalawat kepada Nabi sebagai sanjungan seorang individu yang menyayangi umatnya...
Mungkin sebelumnya kita tidak terpikirkan arti dan makna kalimat dalam bacaan ini. Mudah-mudahan dengan penjelasan singkat ini kita dapat lebih meresapi makna shalat kita. Sehingga kita dapat mencontoh Sholat Nabi Muhammad Saw sebagai mi'rajnya orang mu'min untuk bertemu dengan Allah Swt. Semoga bermanfaat juga, untuk menambah kekhusu'an sholat kita hingga tercapai pertemuan dengan Allah ketika kita melakukan ritual sholat.