Para sahabat, tabiin dan orang-orang soleh lainnya benar-benar mengetahui hikmah dari disyariatkannya puasa Ramadhan. Mereka meyakini, Allah tidaklah mensyariatkan puasa Ramadhan dengan sia-sia. Puasa Ramadhan tidak hanya sekadar meninggalkan kebiasaan makan dan minum saja. Tapi lebih dari itu, puasa disyariatkan guna mengingatkan manusia bahawa mereka memiliki Ilah yang harus diibadahi.
Segala praktik yang dilakukan para salafus soleh adalah praktik ibadah demi menggapai redha Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, "Seandainya umatku mengetahui apa yang terdapat pada Ramadhan, mereka berharap Ramadhan sepanjang tahun."
Pada bulan ini, Allah SWT memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan di bulan - bulan lain. Bayangkan, betapa Allah memuji bau mulut orang yang sedang shaum dengan menyatakannya lebih harum dari wewngian kasturi. Itu baru bau mulut saja, belum lagi praktik - praktik ibadah lainnya semisal membaca Al-Qur'an dan qiyaamullail.
Para sahabat menjadikan Ramadhan sebagai salah satu representasi kenikmatan terbesar yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam. Sungguh menarik apa yang dilakukan para sahabat dalam menata kehidupannya setiap tahun.
Setiap puasa Ramadhan, Abu Hurairah ra dan para sahabat lainnya lebih banyak berdiam diri di masjid. "Kami menjaga puasa kami," begitu kata mereka. Selain itu, para salafush shalih senantiasa berhati-hati dalam berbicara. Di luar Ramadhan saja, mereka selalu berkata dengan perkataan baik, apalagi ketika Ramadhan. Pasalnya, rasulullah saw mewanti-wanti agar menjaga ucapan.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, "Semua amalan anak-anak Adam untuknya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya. Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, 'Aku sedang berpuasa'. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi kasturi, orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya." (Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini milik Bukhari).
Dan di antara amalan-amalan ibadah yang utama dan dilakukan salafush shalih adalah qiyaamullail. Diriwayatkan, Abu Bakar ash-Shiddiq senantiasa melaksanakan shalat di malam hari dengan khusyuk dan sampai meneteskan air mata. Sementara Umar bin Khattab, setelah melakukan shalat malam, beliau membangunkan keluarganya untuk shalat malam sembari menyitir ayat al-Qur'an di surat Thaha ayat 132 yang berbunyi, "Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberikan rizki kepadamu.Dan akibat itu adalah bagi orang yang bertakwa."
Begitu pula halnya dengan Manshur bin al-Mu'tamir. Jika malam yang semakin larut menjelang, dia langsung mengenakan pakaian terbaiknya lalu naik ke atap rumahnya, dan shalat. Tak ketinggalan juga Sufyan ats-Tsauri. Abdul Razaq, salah seorang muridnya, menceritakan, "Suatu saat, Sufyan ats-Tsauri mendatangiku selepas Isya, lalu aku menghidangkan makanan malam yang meliputi kismis dan pisang. Setelah selesai, ia bangkit untuk berwudhu lalu mengencangkan ikat pinggangnya dan menghadap kiblat. Lalu dia berkata, "Wahai Abdul Razaq! Beri makan keledai." Selanjutnya dia meluruskan kakinya dan shalat hingga waktu subuh menjelang."
Ibnu Wahab memiliki cerita lain lagi. Dia menceritakan, "Aku melihat Sufyan ats-Tsauri di Masjidil Haram selepas Maghrib. Dia melaksanakan shalat dan bersujud. Dia tidak mengangkat kepalanya sampai menjelang waktu Shalat Isya."
Meski tidur bernilai ibadah, para ulama justru mengekang keinginannya untuk mengatupkan mata. Itulah yang dilakukan oleh wanita salafus shalih, Mu'adzah al-'Adawiyah, yang senantiasa melakukan shalat malam, mengatakan, "Aku heran dengan mata-mata yang terpejam. Selama tertidur, aku membayangkan gelapnya kuburan, aku selalu menangis."
Ibnu Qayyim al-Jauziyah malah memberikan peringatan kepada kita tentang waktu tidur yang tidak disukai Allah. "Di antara tidur yang tidak di sukai adalah tidur di antara Subuh dan matahari terbit, karena ia merupakan waktu untuk memperoleh hasil."
Dari Abu Umamah ra diriwayatkan, Rasulullah mengajarkan kepada kita, "Barangsiapa shalat Subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir kepada Allah sampai terbitnya matahari, lalu ia mendirikan shalat dua rakaat, maka seakan-akan ia mendapatkan pahala haji dan umrah dengan sempurna."
Lalu, kapan waktu tidur? Imam al Ghazali memiliki tips yang sangat luar biasa memanfaatkan waktu untuk tidur dan mengumpulkan tenaga. Tidur dan istirahatlah menjelang shalat dzuhur atau sesudahnya. Kurang lebih selama 15 atau 30 menit. Al-Ghazali menceritakan, "Qailullah adalah simpanan energi bagi mereka yang ingin melakukan qiyamul lail pada hari itu."
Dalam Kitab al-Muwatha, Imam Malik menuturkan, Abdullah bin Abi Bakar mengulang perkataan ayahnya yang mengatakan, "Setiap setelah melangsungkan shalat malam, kita menginstruksikan pembantu untuk menyiapakan makanan, karena dikhawatirkan fajar segera menyingsing."
Bahkan, Imam Malik memiliki kebiasaan memaksimalkan kemuliaan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Caranya, selama bulan Ramadhan, Imam Malik menutup rapat semua kitab, tidak berfatwa dan tidak melayani diskusi dengan orang lain. "Bulan ini adalah Ramadhan, bulannya al-Qur'an," ujar beliau sambil menunjukkan mushafnya.
Sedangkan Imam Ahmad memiliki kebiasaan tersendiri setiap kali Rmadhan datang menghampiri dengan segala kemuliaannya. Sejak hari pertama Ramadhan, beliau akan memasuki majid dan menetap didalamnya. Bertasbih dan istighfar, memuji dan memohon ampunan. Setiap kali ia berhadas, maka Imam Ahmad berwudhu dan kembali ke dalam masjid melakukan aktivitasnya. Ia tidak pernah pulang ke rumah kecuali untuk makan, minum dan tidur barang sebentar. Mereka semuanya ingin mereguk kemuliaan Ramadhan dengan sempurna, dan tak ingin memiliki penyesalan ketika bulan mulia itu berakhir masanya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggarisbawahi pentingnya berdiam diri di masjid di dalam bulan Ramadhan. "Allah mensyariatkan ibadah puasa atas mereka untuk menghilangkan kebiasaan makan dan minum secara berlebihan, serta membersihkan hati dari noda - noda syahwat yang menghalangi hamba menuju Penciptanya. Disyariatkan pula I'tikaf, dan dengan ibadah ini ditambatkan hati untuk selalu mengingat Allah, menyendiri dengan-Nya, menghentikan segala kesibukan yang berhubungan dengan makhluk-Nya dan menghabiskan waktu hanya untuk Allah semata. Sehingga kegundahan dan luka hati, terhapus dan diisi dengan dzikrullah, mencintai dan menghadap pada-Nya."
Selain shalat malam, para salafush shalih juga mengisi Ramadhan dengan aktivitas membaca al-Qur'an. Lihatlah, di bulan Ramadhan, Utsman bin 'Affan menamatkan bacaan al-Qur'an sekali setiap harinya. Sedangkan az-Zuhri, diceritakan mengurangi kegiatan mendengar hadist dan majelis ilmu untuk lebih banyak berinteraksi dengan al-Qur'an. Sementara Ibrahim an-Nakha'i, jika memasuki hari kesepuluh terakhir di bulan Ramadhan, mengkhatamkan al-Qur'an setiap malam.
Selain itu, para sahabat juga berlumba-lumba memberi makan dan menyediakan buka puasa untuk kaum Muslimin. Bahkan diriwayatkan, setiap Ramadhan, Ibnu Umar selalu berbuka bersama para dhu'afaa, orang-orang yatim dan miskin.
Dari sini dapat ditarik pelajaran, Ramadhan sejatinya disambut kaum Muslimin dengan kesadaran tinggi akan pentingnya ibadah dan keredhaan Allah SWT.