Dalam kitabnya, al-Hikam, Syaikh Ibnu Athaillah memberikan pengajaran penting kepada kita sebagai berikut :
اِرَادَتُكَ التَّجْرِيْد مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّاكَ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ وَ اِرَادَتُكَ الأَسْبَابَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْد اِنْحِطَاطٌ مِنَ الهِمَّةِ العَلِيَّة
Artinya : "Kehendakmu agar semata-mata beribadah padahal Allah sudah menempatkan dirimu sebagai golongan orang-orang yang harus berusaha untuk mendapatkan kehidupan duniamu sehari-hari, maka keinginan seperti itu termasuk perbuatan tau keinginan syahwat yang halus. Sedangkan keinginanmu untuk berusaha, padahal Allah telah menempatkan dirimu di antara golongan yang semata-mata beribadah, mengikuti keinginanmu itu, berarti engkau telah turun dari semangat dan cita-cita yang tinggi."
Ungkapan tajrid di atas berarti meninggalkan sebab yang menjadi jalan untuk menemukan apa yang seharusnya dijalankan oleh orang-orang shadiqin, yakni dengan melaksanakan suatu sebab tidak membiarkan dirinya jatuh kepada perbuatan yang salah, karena berniat meninggalkan urusan duniawi, sebab semata-mata hendak beribadah.
Watak yang dimiliki oleh orang shadiqin, ialah tidak meninggalkan dunia karena akhirat dan tidak meninggalkan akhirat sebab dunia. Hubungan timbal balik antara dunia dan akhirat seperti yang dikehendaki oleh islam, adalah suatu keharusan yang patut diusahakan dan ditunjang dengan perilaku akhlak islami yang akan menunjang semua hal yang menyangkut urusan duniawi dan ukhrawi.
Menempatkan kedua masalah tersebut di atas adalah suatu jalan yang benar bagi orang shadiqin yang memandang kehidupan dunia dan akhirat dalam semua perilaku manusia, saling menunjang dan tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Kedudukan manusia dalam tajrid, karena kehendak mentaati Allah, lalu meninggalkan kasab atau usaha, padahal ia masih memerlukan kasab itu sebagai keperluan yang wajar secara duniawi, maka kehendak tajrid seperti ini termasuk syahwat badani yang tidak pada tempatnya. Oleh karena ia membutuhkan seperti pada umumnya manusia berhubungan dalam hidup melalui tolong-menolong yang berkaitan dengan sesama manusia.
Syahwat badani seperti ini memang syahwat yang halus, karena bukan perbuatan yang tidak dibolehkan, akan tetapi tidak pada tempatnya, apalagi kalau tajrid seperti itu adalah suatu keinginan agar dianggap sebagai manusia zuhud (orang yang tidak berkehendak kepada dunia, semata-mata karena Allah). Kehendak seperti ini bertentangan dengan kehendak Allah sendiri, karena akan menjerumuskannya kepada syirik yang halus pula.
Sebaliknya, orang yang telah mendapatkan keputusan Allah untuk beribadah saja (dalam maqam tajrid saja) berarti ia sudah tidak mempunyai tugas duniawi yang melibatkan dirinya pada ikhtiar duniawi, hanyalah semata-mata beribadah, karena Allah telah memilih ia untuk hal itu. Orang seperti ini bukanlah karena ia tidak memerlukan lagi kehidupan dunia, untuk keperluannya yang primer, akan tetapi Allah telah menjamin kehidupan dunianya dengan rizki yang tak dapat diduga-duga. Dalam urusan duniawi ia tidak terlalu mengharapkan mendapatkannya, karena ia telah siap menerima anugerah Allah dengan jalan beribadah kepadaNya semata.
Inilah orang yang shidiqin di atas jalannya. Ia tidak tamak menghadapi hidup melewati jalan tajrid, karena menempatkan dunia sebagai hal yang tidak mengikatnya sebagai belenggu yang merusak ibadahnya kepada Allah ta'ala. Dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah, ada dua hal yang perlu diingat, lalu menempatkan diri secara teguh (istiqamah) pada tempat yang dipilih si hamba untuk perjuangan hidupnya di dunia dan di akhirat. Kedudukan dua hal ini tidak berbea. Karena niat yang muncul dari perbuatan seperti itu sama kedudukannya, yakni untuk beribadah. Masalahnya sekarang adalah bagaimana seseorang menekuni perilaku ibadahnya. Di satu pihak keinginan tajrid lebih kuat dan lebih dominan, di pihak lain keinginan duniawi lebih condong mengikuti semua perbuatan sebagai ibadah juga.
Untuk menghilangkan keraguan dalam diri hamba yang shadiqin, maka harus menekuni dua perilaku tersebut, sehingga masing-masing mampu memberikan nilai lebih dan menjadikannya sebagai ibadah yang bermanfaat dunia dan akhirat.
Meskipun demikan, perlu dipahami bahwasanya maqam tajrid yang telah dipilih seorang hamba yang shadiqin, adalah maqam yang mulia, karena tidak semua orang mampu berada pada maqam tersebut. Maqam tajrid adalah pilihan Allah atas hambaNya dalam hubungannya dengan peribadatan yang khusus.
Adapun ciri-ciri hamba yang shadiqin dan tajrid diantaranya:
Mendekatkan diri kepada Allah akan tetapi tidak mengabaikan duniawinya. Mengkhususkan diri beribadah semata-mata kepada Allah, karena Allah telah menjamin hidup duniawinya, karena ibadah-ibadah yang ia amalkan. Menempatkan diri dalam hidup sederhana atau qanaah dan menjaga kehormatannya (iffah) dalam hubungan sesama manusia. Tidak menyia-nyiakan pemberian Allah yang telah diterima oleh si hamba (seperti rizki) yang tak terduga, untuk kepentingan manusia lainnya. Kemudian ia tetap istiqamah dalam ibadah yang dijalankannya. Jiwa dan ruh mereka tenang menikmati ibadah kepada Allah. Mengembalikan seluruh persoalan yang telah terjadi dan yang akan terjadi kepada Allah, serta mengerjakan sesuatu perbuatan semata-mata karena izin Allah.
Demikianlah sifat-sifat orang-orang shadiqin yang beriman kepada Allah atas segala ciptaannya, menerima atas segala kejadian baik dan buruk yang datang dari Allah, kemudian berusaha untuk memberi faedah kepada sesama hamba Allah.