Hikmah Halal Bi Halal






HIKMAH HALAL BI HALAL

Oleh : Abu Irsyad

Setiap tahun tepatnya tanggal 1 Syawal, seluruh umat Islam di dunia merayakan Hari Raya Idul Fithri dengan penuh kegembiraan, karena telah berhasil melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh, dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Setiap umat Islam di seluruh dunia mempunyai tradisi yang berbeda-beda ketika merayakan hari Raya Idul Fithri tersebut, sesuai dengan ciri khas bangsanya masing-masing. Walaupun terjadi perbedaan tradisi dalam merayakannya, tetapi dari segi esensi atau nilai-nilai dasar syariah Islam tidaklah terjadi perbedaan dalam merayakan Hari Raya Idul Fithri tersebut.

Kita sebagai umat Islam yang berdomisili di Indonesia, mempunyai tradisi Halal bi halal yang biasanya dilaksanakan dengan tujuan untuk mempererat tali silaturahmi sesama umat muslim. Dalam acara Halal bi halal tersebut biasanya diselingi dengan acara ceramah keagamaan yang berkaitan dengan Hikmah-hikmah Idul Fithri, yang Insya Allah dapat mempertajam kerohanian dan keimanan kita kepada Allah SWT.

Pada acara Halal bi halal kali ini, penulis mencoba untuk membuat suatu makalah yang berkaitan dengan peringatan hari Raya Idul Fitri, yaitu Hikmah Halal bi halal.

PEGERTIAN HIKMAH DAN HALAL BI HALAL

Secara umum, hikmah, yang dalam kamus umum bahasa Indonesia dimengerti sebagai “arti yang mendalam”, biasa dipetik di dalam dua perspektif atau pandangan. Pertama, dalam perspektif yang “aktulistis”. Dan kedua alam perspektif “historis”. Melalui sisi pandang ini, hikmah sebagai “pelajaran” akan dipahami dalam dua “wajah”, yakni hikmah dari sebuah kesuksesan, kebaikan dan kebenaran, maupun hikmah dari sebuah kebenaran, keburukan dan kesalahan. Sedangkan, istilah Halal bi halal secara harfiah mempunyai arti halal dengan halal atau halal atas halal. Tetapi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, Halal bi halal mempunyai makna yang sangat luas, yaitu suatu pola hubungan silaturahmi antar sesama umat muslim yang diwujudkan dalam suatu kegiatan atau acara keagamaan, yang juga disertai dengan saling memaafkan, dan dijiwai oleh nilai-nilai ukhuwah Islamiyah dan nilai-nilai Idul Fithri.

Berkaitan dengan masalah hikmah yang dipandang dari sisi aktualistis, setiap orang diharapkan bisa mengambil arti yang mendalam atau hikmah dari sebuah peristiwa, yang terjadi dalam kehidupan di alam semesta, karena semua yang terjadi bukanlah suatu hal yang sia-sia.

“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau …..“. (QS Ali Imron 3 : 191).

Dengan perspektif seperti tersebut di atas, adanya gejolak krisis ekonomi dan terjadinya bencana yang datang silih berganti, yang berdampak negatif terhadap hampir seluruh sektor kehidupan bangsa Indonesia, layaknya juga memberi hikmah tersendiri bagi kita. Agar dari hikmah itu, kita bisa menyiasati berbagai program yang berhubungan dengan peningkatan fundamental ekonomi dan program mitigasi bencana bangsa kita. Sebaliknya, keberhasilan bangsa kita menjaga dan menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa kesetiakawanan sosial, rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi krisis ekonomi dan bencana alam yang melanda bangsa kita, mestinya juga dipahami sebagi peristiwa yang banyak hikmahnya. Setidaknya, ada hikmah khusus yang bisa dipetik dan untuk dicontoh, bahwa di tengah tumbuhnya individualistis, bangsa kita masih sanggup melahirkan dan menumbuhkan orang-orang yang dengan ikhlas menghibahkan dan menginfaqkan sebagian hartanya untuk membantu orang lain yang terkena bencana atau masyarakat miskin. Sebenarnya masih banyak lagi hikmah-hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa terjadinya krisis ekonomi dan bencana alam yang melanda negeri ini, jika kita mau lebih cermat lagi untuk menangkap hikmah-hikmah tersebut.

Adapun pemahaman hikmah historis, bernuansa sejarah, adalah mengambil peristiwa besar yang berpengaruh terhadap nasib umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia dikemudian hari. Sehingga layak direnungkan sebagai pelajaran yang aktual sepanjang hidup bangsa ini.

Mengambil hikmah lewat perspektif historis ini, sesungguhnya merupakan hal yang penting bagi kehidupan umat Islam. Agar kita bisa maju dan tidak terperosok ke dalam kegagalan yang sama. Bahkan di dalam Al-Qur’an-pun kita diperintahkan memahami hikmah dari berbagai peristiwa yang pernah menimpa umat-umat terdahulu.

“Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka sebagian besar dari orang-orang di masa dahulu dan sesungguhnya telah kami utus pemberi peringatan di kalangan mereka. Maka perhatikan (ambillah sebagai pelajaran bagimu) bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu !”. (QS Ash Shaffat 37 : 71,72,73)

Maka tak ada salahnya kalau saat ini kita merenungi akar masalah yang membuat umat Islam di Irak bisa jadi seperti sekarang ini. Mereka hancur lebur dihantam peperangan. Atau boleh juga direnungi akar sejarah yang membuat nasib umat Islam di Palestina, di Pakistan, di Al Jazair, di Sudan, di Mesir, yang tidak habis-habisnya dilanda kerusuhan politik dalam negeri dan perang saudara. Demikian juga patut direnungi runtuhnya negara Federasi Yugoslavia dan negara Uni Sovyet, yang terpecah belah menjadi negara-negara kecil yang kadang terjadi perselisihan diantara mereka. Sebaliknya, kita juga layak mengambil hikmah dari kesuksesan umat Islam di Brunei yang memperlihatkan kemajuan pesat dalam bidang Ukhuwah Islamiyah dan bidang-bidang lainnya.

Dalam setiap jaman, hikmah historis ini memang selalu memberi pelajaran, sebab, tidak semua sejarah berjalan mulus. Ada saat-saat cemerlang, namun ada saat-saat sebaliknya. Tinggal kejelian kita memahami hikmah sejarah, yang menentukannya. Apakah akan berjaya dan terhindar dari kegagalan yang pernah terjadi, atau terpeleset lagi dan jatuh ke lembah yang sama.

Jadi, melalui pemahaman hikmah seperti tersebut di atas, sesorang yang berjumpa dengan peristiwa baik, hikmahnya, dia akan menganjurkan untuk ditiru. Sebaliknya, jika peristiwa itu merugikan, hikmahnya, dia mengajarkan agar hal serupa diwaspadai. Dengan demikian segala peristiwa semestinya bisa menjadi hikmah. Pandangan ini, sayangnya belum merata di masyarakat. Sebab, masih banyak yang membatasi keberadaan hikmah tadi hanya untuk peristiwa yang “Tragis” saja. Sementara untuk berbagai kesuksesan, kebaikan dan kebenaran, hikmah sering dilalaikan. Akibatnya, ungkapan bahwa bahwa semua peristiwa pasti ada hikmahnya, sering dipahami secara pasif. Sehingga anjuran memetik hikmah hanya menjadi muara terakhir dari proses ketidakberdayaan. Padahal Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an, bahwa setiap akhir dari suatu peristiwa, terdapat kebaikan bagi kita, tidak peduli apakah akhir dari peristiwa tersebut baik atau buruk menurut kaca mata kita.

“Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan”. (QS Adh Dhuha 93 :4)

“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikanmu karunia-Nya (hikmah dari peristiwa tersebut) (QS Adh Dhuha 93 : 5)




HUBUNGAN HIKMAH DENGAN HALAL BI HALAL

Apabila uraian tentang hikmah tersebut di atas dikaitkan dengan Halal bi halal, maka hal ini dapat mempunyai minimal dua pengertian tentang hikmah Halal bi halal, yaitu :

Hikmah Halal bi halal yang mengandung pengertian bahwa ada suatu arti yang mendalam dari hakekat pelaksanaan Halal bi halal, apabila ia dikaji dengan penuh rasa keimanan kepada Allah SWT.

Hikmah Halal bi halal yang mengandung pengertian bahwa ada suatu pelajaran atau hikmah yang dapat kita petik dari suatu prosesi pelaksanaan halal bi halal yang selama ini kita laksanakan, baik kelebihan atau manfaat dari pelaksanaan Halal bi halal tersebut, maupun kekurangan-kekurangannya.

Sebelum kita mengkaji hikmah Halal bi halal berdasarkan kepada dua pengertian tersebut diatas, ada baiknya kita mengkaji peristiwa sebelumnya yaitu ibadah Shaum dan Idul Fithri. Selama ± 12 bulan, kita diberi kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan segala aktivitas kehidupan ditengah-tengah masyarakat di sekeliling kita. Dalam melakukan kegiatan tersebut kadang terjadi persaingan dan benturan-benturan, serta perselisihan dan permusuhan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang kadang menimbulkan kekecewaan, ketidakpuasan, sakit hati, emosi, kesedihan dan lain sebagainya. Hal ini kadang menjadi beban pikiran dan beban rohani bagi orang-orang yang mengalaminya.Oleh sebab itu Allah menurunkan satu bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan, yang di dalamnya terdapat kewajiban untuk melaksanakan ibadah Shaum, dengan tujuan agar setiap individu melatih dirinya sedemikian rupa untuk menahan dan mengendalikan setiap aktivitas hidupnya agar tidak menjadi budak hawa nafsu dengan segala bentuk dan sifatnya, yang kadang sering mendominasi aktivitas hidup kita, baik di keluarga, maupun di lingkungan masyarakat sekitar kita. Dengan ibadah Shaum, pada akhirnya kita diharapkan agar dapat mudik dari hilir kehidupan menuju ke hulu kehidupan yang fitrah dan penuh ketakwaan kepada Allah SWT

Hubungan sosio spiritual Idul Fithri dan shaum Ramadhan juga dapat dipahami dengan memandangnya sebagai simbolisme perjalanan melingkar hidup keruhanian manusia. Siklus itu dimulai dari saat roh ditiupkan dan ke dalam jasad, kemudian lahir di dunia ini, kemudian berakhir dengan saat kembali (dikembalikan) kepada Tuhan. Siklus itu juga bermula dari Idul Fithri ke Idul Fithri berikutnya. Mula-mula ia adalah seorang makhluk manusia yang suci, bagaikan dalam surga atau “Paradiso”. Ia hidup dengan bimbingan hati kecil yang suci, yang disebut nurani, artinya bersifat terang, karena menerangi jalan hidup manusia menuju kepada baik dan benar. Karena fithrah kesucian yang bersemayam dalam hati nurani itulah manusia bersifat hanif, artinya, secara pembawaan alami cenderung merindukan dan memihak kepada baik dan benar. Karena itu pula fitrah dan kehanifan (hanifiyah) merupakan lokus kesadaran kebenaran dan merupakan titik pusat kesediaan masing-masing pribadi manusia untuk menerima agama penyerahan diri dan ketaatan kepada Allah melalui tindakan hidup berakhlak. Fitrah dan kehanifan itu adalah design ciptaan Allah yang tidak akan berubah sehingga tetap ada selama-lamanya dalam diri manusia

“Maka hadapkanlah dirimu kepada dien yang hanif, fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan bagi fitrah Allah. Itulah dien yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS Ar-Rum 30:30)

Kehanifan menjadi sumber potensi kearifan abadi (al-hikmat, al-khalidah atau Sophia perennis), inti nilai kemanusiaan universal. Dan Nabi pun menegaskan bahwa sebaik-baiknya agama ialah al-hanifiyat al-sambah, yaitu semangat mencari kebenaran dan kebaikan secara wajar, alami, lapang dan manusiawi (HR Ahmad dari Ibn Abbas). Tetapi sekalipun diciptakan dalam kesucian asal, manusia adalah makhluk yang lemah.

“Allah hendak memberikan keringanan kepada kamu, dan manusia dijadikan dalam keadaan lemah” (QS An-Nisa 4 : 28).

Kelemahan manusia yang paling pokok ialah pandangannya yang pendek, dan tidak mampu melihat jauh ke depan. Karena itu manusia mudah tertarik kepada hal-hal yang sepintas lalu menawarkan kesenangan, padahal dalam jangka panjang membawa malapetaka. Adalah hati nurani yang memperingatkan manusia untuk waspada jangan sampai terjebak oleh hal-hal yang pendek yang menyenangkan, sementara melupakan jangka panjang yang lebih besar dan penting. Karena itu Nabi SAW menjelaskan, bahwa kebajikan adalah budi pekerti luhur, dan dosa ialah sesuatu yang terbetik dalam hati yang bersangkutan dan tidak suka jika diketahui oleh orang banyak. Hadits ini menyangkut seorang sahabat Nabi bernama Wabishah al-Asadi :

Berkata Wabishah a-asadi, “Aku datang kepada Rasulullah SAW dan aku tidak akan mengesampingkan barang sedikitpun tentang kebajikan dan dosa melainkan mesti akan kutanyakan kepada beliau, dan beliau saat itu dikelilingi sejumlah kaum muslim untuk meminta nasehat dan aku pun melangkah melewati mereka, dan mereka berkata, “hai Wabishah, jangan mendekati Rasulullah SAW!” Aku katakan, “Biarkanlah aku! Aku akan mendekat kepada beliau. Karena beliau adalah orang yang paling aku cintai untuk saya dekati.” Beliau (Nabi) bersabda, “Biarkanlah Wabishah! Kemari, Wabishah! (dua atau tiga kali)” Kata Wabishah,” Akupun mendekat kepada beliau hingga aku duduk bersimpuh dihadapannya”. Lalu beliau bersabda,” Hai Wabishah, apakah kau mau aku beritahu atau engkau akan bertanya kepadaku?” Aku berkata,”Tidak, melainkan beritahulah aku. Beliau bersabda , “Engkau datang untuk bertanya kepadaku tentang kebajikan dan dosa bukan?” Wabishah menjawab,”Ya!” lalu beliau merapatkan jari-jari beliau, kemudian dengan jari-jari itu beliau menepuk Qalbuku dan bersabda,”Hai Wabishah, mintalah fatwa (bertanyalah, berkonsultasilah) kepada Qalbumu! Mintalah fatwa kepada dirimu! (tiga kali), kebajikan ialah sesuatu yang Qalbu merasa tentram kepadanya dan dosa ialah sesuatu yang terbetik di dalam Qalbumu dan bergejolak dalam Shudur, sekalipun orang banyak memberi fatwa (membenarkan) kepadamu, sekalipun mereka memberi fatwa kepadamu! “. (HR. Bukhori )

Jadi pertimbangan pertama dan utama dalam bertindak ialah nurani. Murni dan terangnya hati nurani akan membisikkan kepada kita tentang apa yang baik dan buruk, yang benar dan yang palsu. Namun karena kelemahan manusia tersebut tadi, kita tidak selalu dapat mendengar Suara nurani kita sendiri. Atau karena Qalbu kita sudah kehilangan cahaya-Nya disebabkan oleh dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan kita. Karena itu dalam istilah Al-Qur’an, dosa disebut zhalim, orang yang melakukan kegelapan. Maka orang yang banyak berbuat dosa, qalbunya tidak lagi bersifat terang (nurani), melainkan menjadi gelap (zhulmani). Dan dalam stadium yang kronis dan parah, perbuatan dosa atau zhalim itu mungkin tidak lagi kita rasakan sebagai dosa atau kejahatan, bahkan terasa baik-baik saja. Inilah yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an bahwa adakalanya kejahatan pada sesorang ‘dihiaskan’ baginya, sehingga nampak indah bagi yang bersangkutan. Dan itulah stadium kebangkrutan ruhani, yang menyeret manusia keluar dari dalam “Paradiso” menuju “inferno”. Dalam Al-Qur’an terbaca isyarat kebangkrutan spiritual itu :

“Apakah (kamu risaukan, wahai Muhammad) orang yang dihiaskan baginya kejahatan amalnya sebagai ia pandang baik? Sebab sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendak-Nya Oleh karena itu, janganlah engkau menelantarkan dirimu dengan kesedihan tentang mereka itu. Sesungguhnya Allah maha Tahu akan segala sesuatu yang mereka perbuat ”. (QS Al Fathir 35 : 8)

Karena selalu ada bahaya ancaman kebangkrutan spiritual seperti itu, maka setiap pribadi memerlukan proses pembersihan diri. Proses itu yang kita jalani dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Maka bulan puasa adalah bagaikan alam “purgatorio”, alam pensucian dan pembersihan diri. Proses pensucian diri itu ditempuh dengan memperteguh kemampuan kita menahan diri dari godaan, akibat pandangan kita yang cenderung pendek (miyopik) dan gampang tergoda itu. Dengan asumsi bahwa ketika berhasil menjalani proses itu, maka kita akan dapat melepaskan diri dari alam “inferno” kembali menuju ke alam “Paradiso” yang dianugerahkan Tuhan kepada kita melalui kesucian primordial kita. Kembali ke “Paradiso” itulah yang kita rayakan pada akhir bulan Ramadhan, tanggal 1 Syawal, dan perayaan itu dinamakan Idul Fithri, “kembalinya kesucian primordial”, atau “kembali ke kesucian primordial”. Maka, menurut petunjuk Al-Qur’an, kita hendaknya merayakan Idul Fithri dengan bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuk yang telah kita terima, dan bersyukur atas segala petunjuk itu

“Bulan Ramadhan, yang yang didalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang dan batil. Karena itu barang siapa diantara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa dan barang siapa sakit, atau dalam perjalanan, maka wajiblah ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan kamu hendaklah mengagungkan Allah atas Petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS Al Baqarah 2 : 185).

Nabi SAW juga berpesan agar dalam Idul Fitri semua orang keluar rumah menuju tempat sholat Hari Raya, termasuk kaum wanita yang sedang berhalangan. Dan beliau juga membiarkan dan mendukung penuh kegembiraan warga Madinah dalam merayakan Hari Raya Idul Fithri.

Di negara kita, perayaan Hari Raya Idul Fithri biasanya diteruskan dengan pelaksanaan kegiatan Halal bi halal yang sarat dengan hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran yang mendalam untuk mempererat Ukhuwah Islamiyah. Hikmah yang dapat di petik dari suatu prosesi pelaksanaan halal bi halal yang selama ini kita laksanakan adalah sebagai berikut :

1).Bersikap kasih sayang kepada sesama muslim, seperti mengasihi diri sendiri.Jangan mengkhususkan sesuatu untuk diri pribadi tanpa mengindahkan mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Tiada sempurna iman seseorang hingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri “. (HR Bukhori & Muslim )


2). Selalu menebarkan salam, berjabat tangan dan bertutur kata yang manis apabila berjumpa dengan sesama Muslim. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW :

“ Hak seorang muslim kepada muslim lainnya ada enam perkara yaitu apabila kamu berjumpa dengan dia, hendaklah memberi salam kepadanya. Apabila kamu diundangnya, perkenankanlah undangan itu. Apabila ia meminta nasihat kepadamu, nasihatilah ia. Apabila ia bersin dan memuji Allah maka jawablah dengan ucapan “ Yarhamukullah “. Apabila dia sakit, jenguklah dia. Apabila meninggal dunia maka iringilah jenazahnya “. ( HR Muslim )

3). Hendaklah bergaul dengan sesama muslim dengan akhlak yang baik, sayang menyayangi dan tidak lekas marah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dan Hadist Nabi Muhammad SAW :
.
“ Dan sesungguhnya kamu harus benar-benar berbudi pekerti yang tinggi “. ( QS Al Qalam 68 : 4 )

“ Orang mukmin yang paling yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling baik akhlaknya “ ( HR Turmudzi ) .

4). Selalu bersikap tawadhu kepada sesama muslim sebagaimana perintah Allah dengan firman- Nya dan Hadits Nabi SAW :

“ Dan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang beriman “. ( QS Al Hijr 15 : 88 )

“ Dan barang siapa yang merendahkan hati karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat martabatnya. Pada penglihatannya dia kecil tetapi dimata orang orang banyak dia besar, Dan barang siapa sombong niscaya Allah meletakkannya atau merendahkan martabatnya. Dimata orang banyak dia kecil tetapi dimatanya sendiri dia besar sehingga ia lebih hina bagi kamu daripada anjing atau babi “. ( HR Thabrani )

“ Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu kepadaku : berendah hatilah kamu hingga tiada seorangpun membanggakan diri kepada orang lain dan janganlah berbuat kejahatan seseorang terhadap orang lainnya “. ( HR Muslim )

5). Selalu berusaha mencari kerelaan sesama muslim dan memandang mereka dengan baik, Saling tolong menolong dalam menegakkan kebajikan dan takwa serta mencintai Allah, mendorong mereka supaya berusaha mencapai kerelaan Allah, menunjuki mereka ke jalan yang benar jika anda sudah dewasa dan belajar dari mereka jika anda lebih muda. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dan Hadits Nabi SAW :

“ Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “. ( QS Al Maidah 5 :2 )

“ Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang raja, dijadikan-Nya seorang wazir atau menteri yang jujur untuknya. Jika Raja lupa, akan diingatkannya, dan jika teringat akan dibantunya. Dan apabila Allah menghendaki tidak demikian atau sebaliknya maka dijadikan-Nya seorang menteri jahat untuknya. Jika Raja lupa, tidak diingatkannya dan jika ingat tidak dibantunya”.

6). Selalu menyayangi sesama umat muslim dengan menghormati orang-orang tua dan menyayangi anak-anak sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Tiadalah termasuk golongan kami , orang-orang yang tidak menghormati orang-orang tua kami dan tidak menyayangi anak-anak kami “.( HR Turmudzi )

“ Orang-orang yang menaruh balas kasihan, dirahmati Allah Yang Maha Pengasih “. ( HR Abu Daud )

“ Jika kamu ingin mendapat Rahmat-Ku maka sayangilah makhluk-Ku “. ( Hadits Qudsi )

“ Barang siapa tidak menyayangi orang niscaya Allah tidak menyayanginya”. (HR Muslim)

7). Selalu saling menasihati dengan lemah lembut apabila melihat atau terdapat kesalahan diantara sesama umat Islam . Sesuai dengan Hadits Nabi SAW :

“Barang siapa menyembunyikan aurat atau aib saudaranya niscaya Allah menyembunyikan aibnya. Dan barang siapa membukakan aurat atau aib saudara niscaya dibukakan Allah aibnya sehingga keaibannya disiar-siarkannya dalam rumahnya”. ( HR Muslim )

8). Selalu berprasangka baik terhadap sesama umat Islam. Apabila nampak aib seseorang katakan pada dirimu :

“ Aib itu adalah pada diriku karena seorang muslim itu adalah cermin bagi muslim lain. Seseorang tidak akan melihat dalam cermin kecuali rupa dirinya”. (HR Muslim )

“ Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian dari kamu menggunjing sebahagian ynag lain. Sukakah salah seorang dianatara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyanyang “. ( QS Al Hujurot 49 : 18 )

9). Saling memaafkan diantara sesama umat Islam. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW dan Firman-Nya :

“ Jadilah engkau seorang yang pemaaf……..”. ( QS Al A’raf 7:199 )

“ Barang siapa didatangi sahabatnya mohon dilepaskan dari kesalahannya hendaklah diterimanya baik sifatnya membenarkan atau membatalkan. Barang siapa tidak berbuat demikian niscaya ia tidak akan dapat mendatangi kolam-Ku pada hari kiamat “.( HR Al Hakim )

10). Selalu mendamaikan sengketa yang terjadi diantara sesama muslim. Janganlah berpihak kepada salah seorang diantara mereka . Tetapi damaikanlah dengan cara yang baik dan lemah lembut . Hal ini sesuai dengan firman-Nya dan Hadits Nabi SAW :

“ Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu”..( QS Al Hujurot 49 : 10 )

“ Sedekah yang paling baik adalah mendamaikan orang yang berselisih “.( HR Thabrani )

“ Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan sesama manusia lalu dikembangkannya kebaikan atau diucapkannya perkataan yang baik-baik “. (HR Bukhori )

11). Selalu bertegur sapa dan beramah tamah diantara sesama muslim. Sesuai dengan Hadits Nabi SAW :

“Apabila salah seorang kamu mengasihi saudaramu pada jalan Allah maka hendaklah ia mengajarinya karena hal itu melebihlamakan keramah-tamahan dan lebih memantapkan kemesraan “. ( HR Bukhari )

“ Bila anda bersahabat dengan seseorang tanyalah namanya dan nama ayahnya atau bertegur sapa . Jika ia tidak ditempat, anda menjaganya , dan jika ia sakit, anda menjenguknya dan jika ian meninggal dunia anda menyaksikannya atau mengiringinya “. ( HR Al Baihaqi )

12). Selalu melapangkan tempat duduk kepada sesama muslim atau orang lain ketika sedang mengikuti suatu majelis sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Sesungguhnya bagi seorang muslim itu ada hak apabila melihat saudaranya datang, ia menjauhkan diri atau menyediakan tempat untuknya “.( HR Al Baihaqi )

13). Selalu menempati janji sesama muslim apabila kita terlibat janji. Karena masa menunggu itu adalah salah satu pemberian yang dikalangan Ahlullah adalah hutang. Dan mungkir janji adalah sebagian tanda-tanda munafik. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Tanda-tanda munafik itu ada tiga yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkir dan apabila dipercaya dia berkhianat “. ( HR Bukhari )

Demikianlah beberapa hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran yang sangat mendalam dari sebuah penyelenggaraan kegiatan halal bi halal, semoga kita dapat mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kurang lebihnya mohon maaf, akhirul kalam, wabillahi taufik wal hidayah wassalamu’alaikum Wr. Wb.