Hakekat Wukuf Di Padang Arafah

Wukuf adalah puncak tertinggi dari ibadah haji yang dilakukan disebuah tempat/padang yang luas yang kita sebut sebagai "ARAFAH"

Apakah Wuquf itu ? Apakah Arafah itu ? Mengapa tempat itu menjadi sebuah yang amat penting ?

Hakekat Wukuf Di Padang Arafah
Hakekat Wukuf Di Padang Arafah

Wukuf berasal dari kata waqofa yaqifu, yang artinya berhenti atau diam sejenak. Arafah berasal dari kata ‘arafa, ya'rifu, yang berarti mengetahui, mengenal , memahami.

Ditempat itu (padang 'arafah) saat ibadah wukuf atau saat jamaah mewakafkan diri mereka. Diharapkan mereka mengenal dan memahami tentang dirinya, tujuannya, dosa-dosanya, langkah-langkahnyanya, dan sebagainya.

'Arafa juga diyakini sebagai tempat pertemuan Adam dan Hawa.

Didalan Al-Quran, kata 'arafa dipakai saat Ibrahim memahami ('arafa) bahwa benar mimpi itu datang dari Allah. Begitupun saat Adam dan Hawa mengetahui ('arafa) dosa-dosanya lalu mereka bertaubat kepada Allah.

Kita mengenal satu ungkapan

"Man 'arafa nafsahu, faqod 'arafa rabbahu.."

(Siapa yang mengenal/memahami dirinya, maka dia akan mengenal/memahami Tuhan-nya)

'Arafa (mengenali, memahami) adalah sebuah ranah/padang/zona yang amat luas.
Apanya yang dikenali..? Namanya, maknanya, wujudnya, sifatnya, af'al (perbuatan) nya, dzatnya, letaknya, rupanya, dan sebagainya.

Itulah gambaran dari hakikat 'Arafa, termasuk puasa 'arafa bertujuan untuk "Memahami"

Di 'Arafa itulah Ibrahim memahami mimpi/petunjuknya. Di 'Arafa itu Ismail memahami apa yang disampaikan bapaknya. Di 'Arafa itu Adam dan hawa bertemu.  Di 'Arafa itulah diri bertemu dengan Tuhan-nya.

Di 'Arafa, di "pemahaman"

Rasulullah saw bersabda :

"Haji adalah wukuf di Arafah"

Wukuf adalah puncak dari sekian banyak rangkaian ibadah haji. Karena itu, Rasulullah saw memberikan sinyal tentang penisbatan wukuf kepada ibadah haji itu sendiri. Haji itu ya wukuf di Arafah. Mengapa ia menjadi puncak dari ibadah haji ?

Sesuai dengan namanya bahwa wukuf adalah berdiam, berkontemplasi, bertafakkur, dan bertadabbur. Berdiam di sini bertujuan untuk mengenal dan membaca diri.

Mengenal diri mengandung implikasi logis bahwa ibadah haji itu bermakna juga mengenal Allah. Tidak ada hal yang lebih tinggi dari mengenal Allah. Jika ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang paling tinggi derajatnya, maka wukuf menempati derajat yang paling tinggi dari sekian banyak aktifitas ibadah haji.

Setelah sebelumya memakai pakaian ihram yang bermakna mengharamkan diri dari segala yang dilarang dalam aturan-aturan ihram, maka wukuf adalah perjalanan selanjutnya dari proses pengharaman diri itu. Artinya, strategi untuk mengenal Allah hanya dapat dicapai semata-mata dengan menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang (oleh Allah).

Pelarangan-pelarangan ketika berihram adalah simbolisasi tentang sebuah pencapaian keadaan fitrah, yakni keadaan asli dimana Allah swt sendiri menjadi Pengambil ikrar akan sebuah kesaksian. Kesaksian awal tentang sebuah pengakuan hamba dan statemen Tuhan. Pernyataan Allah Swt itu adalah :

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : "Bukankah aku ini Tuhan kalian?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami telah menyaksikannya". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan :

"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (al-A’raf (7) : 172)

Mengapa Tuhan mesti dikenali melalui wukuf ? Wukuf di padang Arafah merupakan simbolisasi dari zona ruhani. Sebuah pola untuk berma’rifat. Tak akan ada sebuah pencapaian tanpa memberhentikan gerak kehidupan terlebih dahulu. Dan gerak kehidupan itu bertitik pusat pada akal pikiran. Memberhentikannya dalam gerak kehidupan bermakna mengembalikannya pada kondisi awal. Dari sinilah, seorang yang menjalankan wukuf memulai untuk bertaraqqi kepada alam asalnya.

Jendela terhadap dunia penampakan yang bertitik pusat pada akal pikiran itu terletak pada panca indera. Indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba, semuanya berpusat pada akal. Partikel-partikel dunia masuk melalui panca indera tersebut. Partikel-partikel dunia itulah yang membuat segala macam keramaian di dunia. Ia harus dikembalikan pada fitrahnya dengan cara menutup semua lobang panca indera melalui wukuf. Akal pikiran dimurnikan kembali sehingga ia tidak bergeser terlalu jauh. Menghentikan gerak akal sementara waktu bertujuan untuk menenangkannya. Akal yang tenang akan tunduk pada jiwa yang tenang. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang bisa kembali kepada Tuhannya. Ke arah sanalah agama mengajarkan para pemeluknya agar senantiasa mencapai satu titik ketenangan yang bisa membawa dirinya kepada hakekat kejadian awal. Kejadian awal manusia adalah ikrarnya dalam mengenal Tuhan.

"Alastu birabbikum, qooluu balaa syahidnaa", bukankah Aku ini Tuhan kalian, mereka berkata; "ya kami telah bersaksi".

Akal yang tenang akan selalu tunduk pada jiwa yang tenang. Akal yang tenang akan mendapatkan suntikan energi, sehingga daya tampungnya menjadi lebih luas. Pandangannya tajam terhadap tanda-tanda alam. Sensitifitas kecerdasannya akan selalu membawa kemaslahatan bagi lingkungan dan alam semesta.

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku". (QS Al-Fajr : 27-30).

Gerak akal yang muncul dari panca indera, menjadikannya terbebani oleh persoalan-persoalan dunia. Dunia telah menarik fungsi akal dan mengikat kuat manusia sehingga ia menjadi bodoh, lemah dan terpuruk. Belenggu dunia telah membawa akal sehingga ia tidak mampu berpikir untuk soal-soal yang sangat sederhana. Akal telah terpenjara oleh penampakan panca indera. Sifat-sifat buruk yang muncul dan menjadi penyakit hati berasal dari dunia penampakan yang masuk dari panca indera. Kebencian, kedengkian, iri hati, sombong, riya, sum'ah, buruk sangka, sakit hati, dan penyakit-penyakit lainnya telah menjerumuskan manusia menjadi makhluk yang sangat kerdil dan terhina. Saat itulah manusia telah menjadi bodoh. Belenggu dunia yang mengikat kuat akal pikiran manusia adalah berhala yang nyata. Ia bukan berada di luar diri, tetapi di dalam diri. Ia membentuk sebuah gambar yang membuat manusia menjadi senang ataupun susah. Gambar-gambar yang muncul di dalam bayangan akal pikiran telah membelenggu dan menjadi penghalang bagi manusia untuk menuju pertemuan dengan Tuhannya.

SEMOGA BISA DIFAHAMI,
SALAM ARAFAH.