Hubungan Shalat dan Puasa Sebagai Sarana Menemui Allah

Dalam agama Islam, kita mengenal istilah Rukun Islam, yang terdiri dari lima perkara yaitu : syahadat, shalat, puasa. zakat dan haji. Kelima perkara itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan, makanya perkara tersebut dinamakan rukun, yang artinya satu kesatuan atau tidak terpisah. Sebenarnya kata “rukun” berasal dari serapan bahasa Arab, yaitu ruku’ yang artinya sudut atau siku. Sedangkan Islam berarti damai. 

Berdasarkan arti ini, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai kedamaian (Islam) dapat ditempuh dengan lima sudut jalan dimana kelima sudut tersebut saling berhubungan. Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa sudut puasa merupakan pusat dari empat sudut rukun Islam lainnya. Kalau dikaitkan dengan jari tangan kita, rukun Islam dapat diumpamakan jari tengah adalah simbol puasa, sedangkan jari jempol simbol dari syahadat, jari telunjuk simbol dari shalat, jari manis simbol dari zakat dan jari kelingking simbol dari haji. Kelima jari tangan kita merupakan satu kesatuan yang utuh dan sempurna.


Mengapa ibadah puasa menjadi pusat dari rukun Islam ? Inilah misteri yang akan kita bahas. Kita sudah mengetahui bahwa hanya ibadah puasalah yang bersifat sangat rahasia kerena untuk mengetahui seseorang itu berpuasa atau tidak hanya dirinya dan Allah-lah yang mengetahuinya. Sehingga ibadah puasa menjadi rahasia bagi seorang hamba dengan Tuhannya.
“Setiap amal anak Adam adalah untuk anak Adam itu sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan memberi ganjaran atas puasanya itu”. (HR Bukhari)

Dari Hadits tersebut, ternyata hanya ibadah puasalah yang amalnya diperuntukkan Allah. Kemudian hanya Allah yang berhak memberi ganjaran atas puasanya itu. Apakah ganjaran bagi orang yang berpuasa itu ? terlihat dengan jelas bahwa ganjaran bagi orang yang berpuasa adalah kegembiraan ketika berbuka dan bertemu dengan Allah. Selama ini kita sudah berpuasa sekian tahun, akan tetapi, sudahkah kita mendapat pengalaman spiritual yang sangat mengembirakan yaitu bertemu dengan Allah Yang Maha Indah ? Kalau kita sudah berpuasa tapi belum pernah bertemu dengan Allah, lalu bagaimana caranya agar puasa kita dapat mengantarkan diri kita mencapai pengalaman bertemu dengan Allah ?
Intisari dari amal ibadah puasa adalah menahan, mengekang dan mengendalikan diri kita dari makan dan minum serta dorongan hawa nafsu kita yang keluar dari sembilan lubang kehidupan yang ada dikepala dan tubuh kita. Proses menahan aktivitas inderawi ini, sebenarnya sudah pernah kita alami dan lakukan, tetapi sayangnya kita telah melupakan peristiwa tersebut. Pengalaman berpuasa itu adalah ketika diri kita masih berupa janin bayi yang berada dalam kandungan seorang ibu. Di dalam kandungan tersebut, kita sebagai bayi, tidak melakukan aktivitas inderawi, karena kita sedang berendam dalam air ketuban yang mengalir dan bersirkulasi. Dengan kata lain, saat itu kita tidak makan dan minum melalui lubang mulut, kita juga tidak melakukan buang air besar dan kecil, tidak berbicara kotor, tidak melihat dan mendengar hal-hal yang berbau maksiat. Singkatnya kita memang sedang melakukan ibadah puasa secara kafah atau total selama sembilan bulan. Saat itulah kita sedang menerima dan menikmati kegembiraan yang luar biasa, yaitu kita sedang mendapat curahan kasih dan sayang dari Allah di alam rahim. Kita saat itu tidak merasakan bahagia atau sedih, panas atau dingin, manis atau pahit dan sebagainya. Mengapa hal itu bisa kita alami ? karena kita saat itu sedang bertatap muka (tawajuh) dengan Allah di alam rahim-Nya. Sesuai dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Wajah Allah, yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kehanifan dan aku tidak termasuk orang musyrik” (QS Al An’am 6 :179)
Setelah lahir, pintu indera jasmani kita terbuka dan mulai menikmati keindahan duniawi, disisi lain pintu-pintu indera batin kita perlahan mulai tertutup, sehingga lambat laun kita melupakan pengalaman bertemu dengan Allah ketika berpuasa di dalam kandungan tersebut.
Untuk mendapatkan kembali pengalaman bertemu dengan Allah itu dengan berpuasa, di utuslah para Nabi dan Rasul dengan membawa Kitab-Kitab Suci-Nya, yang isinya adalah Peringatan (Adz Dzikra) yang mengingatkan kita, karena kita telah lupa ingatan terhadap asal mula kejadian kita dalam kandungan. Para Juru Ingat tersebut menyeru dengan satu seruan agar kita kembali menghadap dan menemui asal kita yaitu Allah dengan cara mengulang kembali ke awal mula kejadian diri kita dahulu. Seruan itu di isyaratkan dalam Al Qur’an dan Injil :
“Katakanlah : “Sesungguhnya aku mengajarkan kepada kamu dengan satu ajaran saja, yaitu bahwa kamu harus bangkit untuk menghadap Allah , berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian hendaklah kamu pikirkan , tiadalah sahabat kamu itu gila, dia tiada lain hanyalah pemberi Peringatan kepada kamu, sebelum datang azab yang sangat keras”. ( QS Saba’ 34 : 46)
“Sesungguhnya kamu akan datang kembali menemui Kami dengan sendiran seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula penciptaan, dan pada saat itu kamu akan meninggalkan dibelakangmu semua apa yang dianugerahkan Allah kepadamu.........”. (QS Al An’am 6 : 94)
“Yesus berkata : Sesungguhnya aku berkata kepadamu, Jika kamu tidak kembali seperti bayi dalamkandungan, sekali-kali kamu tidak dapat masuk ke dalam kerajan Allah”. (Injil, Matius 18 : 3)
Jika kita ingin bertemu dengan Allah, kita harus menggingat dan mengulang kembali perjalanan dan pengalaman diri kita, ketika diciptakan oleh Allah pada pertama kali, yaitu ketika diri kita terendam dalam air ketuban dan ketika inderawi kita sedang tidak berfungsi.
Untuk mengulang kembali peristiwa itu Allah memerintahkan kita untuk melakukan ibadah puasa seperti yang pernah kita lakukan dahulu dalam kandungan seorang ibu. Inilah perintah puasa yang diisyaratkan oleh Allah dalam Al Qur’an :
“Wahai orang-orang yang beriman, telah ditetapkan atas kamu berpuasa seperti telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu dari kamu supaya kamu terpelihara”. (QS Al Baqarah 2 : 183)
Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan agar kita berpuasa kembali seperti puasa yang per nah kita lakukan dahulu dalam kandungan seorang ibu. Mungkin timbul pertanyaan dalam diri kita, bagaimana caranya kita kembali ke dalam kandungan atau alam rahim ?
Kita sering tidak menyadari arti kata “kamaa”. Dalam ayat-ayat diatas. Dalam bahasa Arab, kata “kamaa” artinya adalah “seperti, sebagaimana atau bagaikan”. Dari arti ini dapat disimpulkan bahwa perintah untuk kembali ke awal kejadian adalah bukan dalam arti sesungguhnya, tetapi mirip dengan kejadian awal. Jadi kita harus mengkondisikan diri kita seperti kondisi yang mirip dengan suasana di dalam kandungan. Suasana dalam kandungan adalah penuh kedamaian, karena indera kita sedang tidak berfungsi. Begitupula jika kita melakukan ibadah puasa, kita bukan saja manahan diri dari makan dan minum saja tetapi juga harus menahan diri dari mendengar, melihat, dan mencium aroma yang ada di luar diri kita. Pada saat itu yang kita lakukan hanyalah berdzikrullah sampai kita bertemu dengan Allah, yang dikiaskan dengan munculnya “Asy Syamsu”(matahari) atau “Asy Syahru” (bulan).
“....Barang siapa diantara kamu menyaksikan “syahra”, maka hendaklah ia berpuasa....”.(QS Al Baqarah 2 : 185)
Kata “syahra” merupakan kata simbolis dari Nur Allah yang tajalli dalam diri orang yang berpuasa. Pada saat Nur Allah tajalli dalam diri dan tersaksikan, maka orang tersebut harus berpuasa dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, mendengar, melihat, berbicara dan berfikir yang negatif. Inilah yang dikatakan dalam bahasa agama, bahwa kita mengawali berpuasa dengan sistem ru’yat. Apakah yang diru’yat oleh orang yang berpuasa ? tentunya adalah Ru’yatullah (melihat Allah).
Ada juga yang melakukan ibadah puasa dahulu baru kemudian nanti melihat “syahra”, inilah yang disebut dengan mengawali puasa dengan sistem “hisab”. Artinya seseorang menahan diri dulu dari aktifitas inderawi, baru kemudian secara perlahan dia akan melihat “syahra” atau Nur Allah.
Berapa lama kita melakukan ibadah puasa, tergantung dari seberapa lama “Asy Syamsu” tersaksikan oleh pelaku puasa. Dengan kata lain lamanya puasa kita tergantung dari seberapa lama Nur Allah yang tajalli dan tersaksikan oleh mata batin kita. Inilah, yang dalam bahasa syariat, bahwa orang berpuasa dimulai dari terbitnya sinar matahari sampai terbenamnya sinar matahari. Peristiwa inilah yang diisyaratkan dalam Al Qur’an.
“Apakah engkau mengira sesungguhnya penghuni gua dan raqim itu adalah termasuk tanda-tanda Kami yang mengagumkan? Ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua, lalu mereka berkata : “ Ya Tuhan kami, berilah kami rahmat dari sisi-Mu dan siapkanlah petunjuk dalam urusan kami”. Lalu Kami menutup telinga mereka di dalam gua itu bertahun-tahun lamanya. Kemudian Kami bangunkan mereka untuk Kami buktikan siapa yang lebih dapat menghitung masa mereka tinggal”. (QS Al Kahfi 18 : 9-12)
“Dan engkau mengira mereka bangun padahal mereka tidur. Kami balikkan mereka ke kanan dan ke kiri sedang anjing mereka terbentang kedua lengannya di muka pintu gua...”. (QS Al Kahfi 18 : 18)
Secara simbolis, ayat tersebut diatas sebenarnya mengisahkan peristiwa seorang yang sedang melakukan puasa dalam rangka bertemu dengan Allah, yang dilakukan oleh “ tujuh penghuni gua”.
Ash Habul Kahfi artinya penghuni gua yang berjumlah tujuh. Ini adalah simbol dari tujuh rasa kesadaran yang menghuni tujuh lubang inderawi yang ada di kepala manusia. Sedang raqim (batu tulis) adalah simbol dari petunjuk yang telah ditanamkan dengan kuat dalam qalbu penghuni gua. Sedangkan anjing simbol dari struktur bangunan tubuh manusia.
Ketika pengaruh kenikmatan duniawi yang tercerap oleh tujuh lubang inderawi kita, sudah sedemikian kuat. Maka kita harus secepatnya melindungi diri kita dari pengaruh kenikmatan duniawi tersebut dengan cara “berpuasa” menahan aliran kesadaran yang mengarah keluar menjadi ke arah dalam diri dengan cara menutup “pintu gua inderawi”. Setelah pintu gua inderawi tertutup, maka kita bermohon kepada Allah agar diberikan Rahmat dan Rahim serta Nur Hidayah. Munculnya Rahmat dan Hidayah ini dikiaskan dengan terlihatnya sinar matahari yang terbit dari kanan gua ke arah kiri gua. Dengan munculnya Nur Allah yang dikiaskan dengan “Sinar matahari” yang tersaksikan oleh mata batin kita, maka lambat laun kesadaran jasmani kita akan menghilang secara berangsur-angsur, sehingga kita tidak lagi mengingat lintasan peristiwa yang terjadi diluar diri kita, sampai kita terbangun kembali dengan kesadaran yang baru.
Selama pintu gua tertutup, maka selama itu pula hawa nafsu yang bersarang pada jasmani kita tidak dapat masuk kedalam gua, inilah yang dikiaskan dengan “anjing”nya menunggu diluar dengan membentangkan kedua lengannya ke arah pintu gua. Arti simbolis dari membentangkan atau menjulurkan kedua lengan ke arah muka pintu gua adalah bahwa, agar kita terbebas dari cengkeram dan kejaran hawa nafsu yang ganas, maka kita harus berlindung ke dalam gua dengan cara menutup pintu gua dengan tangan kita. Agar rangsangan nafsu yang tercerap oleh inderawi akan mati secara perlahan. Ketika hal ini terjadi, barulah kita akan melihat kehadiran Nur Allah dengan mata batin kita.
Menutup pintu gua inderawi dengan kedua lengan “anjing” kita, inilah yang disebut dengan mengangkat kedua tangan kita mendekat ke arah pintu inderawi yang ada dikepala, ketika kita melakukan gerakan “Takbirat al Ihram”(Takbir Larangan). Di saat inilah, kita mengharamkan telinga kita untuk mendengarkan suara apapun kecuali Suara Allah, mengharamkan mata kita untuk melihat apapun kecuali melihat obyek sujud kita yaitu Nur Allah, mengharamkan hidung kita kecuali untuk mencium aroma Nur Ilahi dan mengharamkan mulut kita mengucap sesuatu kecuali mengucapkan kalam Ilahi.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa puasa pada hakikat adalah cikal bakal dari semua peribadatan dalam rukun Islam, karena dengan berpuasa sesungguhnya kita juga telah terhubung (shalat,shilah) dengan Allah (shalatullah). Dengan berpuasa kita juga telah menyaksikan kehadiran Allah(syahadatullah). Dengan berpuasa, kita juga telah melakukan zakat (menyucikan) tujuh penghuni gua inderawi. Dan terakhir, ketika kita berpuasa, sesungguhnya kita sedang bertamu untuk ketemu dengan Allah dengan wuquf (menghentikan) jalannya aktifitas inderawi dalam rangka untuk ‘Arafah (mengenal) Cahaya Allah Yang Sangat Padang (ma’rifatullah) di padang ‘Arafah.