Setiap manusia yang dilahirkan diatas dunia ini, membawa sifat dasar yang disebut dengan sifat fithrah. Salah satu sifat fithrah tersebut adalah hasrat atau keinginan yang kuat untuk kembali ke tempat dimana ia berasal. Ketika kita bertanya ke dalam diri, dari manakah aku berasal ? Maka kita diperintahkan untuk mengenal diri, Siapakah aku ini ? Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Wa fil ardhi aayaatul lil muuqiniin. Wa fi anfusikum afala tubshiruun.
Dan di bumi terdapat tanda-tanda bagi orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan ? ( QS Adz Dzariyat 51 : 20-21 )
Barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya ( Al Hadits )
Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dengan berpasang-pasangan. Misalnya adalah alam lahir dan alam bathin, lelaki dan perempuan, siang dan malam, baik dan buruk, negatif dan positif dan sebagainya.
Wa min kulli syai-in kholaqnaa zaujaini la’allakum tadzakkarun
Dan Kami ciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan supaya kamu mendapat pengajaran. ( QS Adz Dzariyat 51 : 49 )
Dalam ajaran Islam, diri kita dibagi menjadi minimal dua bangunan utama yaitu bangunan jasmani dan bagunan rohani. Hasil interaksi antara jasmani dan rohani akan menimbulkan gejala kejiwaan. Dengan kata lain, dari hasil perkawinan antara rohani dan jasmani maka lahirlah “ anak” yang bernama jiwa atau nafsani. Jika dilihat dari asalnya, maka jasmani berasal dari bapak ibu kandungnya, yang juga berasal dari garis keturunannya sampai ke asal nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa. Sedangkan rohani manusia berasal dari Allah dan Nabi Muhammad.
Tsumma sawwaahu wa nafakho fiihi ruhihi wa ja’ala lakumus sam’a wal abshooro wal af idata qoliilam maa tasykuruun
Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan kepadanya Roh-Nya dan Dia menjadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan dan hati. Sedikit sekali kamu bersyukur (QS. As Sajadah 32 : 9).
Anna minnallohi wal mu’minu minni
Aku adalah yang dijadikan pertama kali oleh Allah dan seluruh orang mu’min itu dijadikan dari padaku. (Al-Hadits)
Awalu ma kholaqollohu ta’ala nuuri
Pertama-tama yang dijadikan Allah adalah Cahayaku. (Al Hadits)
Dalam diri jasmani dan rohani, masing-masing mempunyai hasrat atau keinginan yang kuat untuk kembali menemui asalnya masing-masing. Tetapi keinginan yang kuat untuk kembali menemui asal tersebut tidak semuanya terpenuhi dengan baik dan benar. Oleh karena itu agama Islam memberikan tuntunan bagaimana keinginan atau hasrat untuk kembali menemui asal kita dapat terpenuhi dengan cara yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, yaitu dengan diperintahkannya umat Islam untuk merayakan dua hari raya besar, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha lengkap dengan ritual keagamaan yang mendahuluinya, sesuai dengan hadits Nabi :
Jabir ra. Berkata: Rasulullah saw datang ke Madinah, sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua hari yang mereka bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan. Maka Rasulullah saw bertanya : Apakah hari yang dua ini? Penduduk Madinah menjawab adalah kami di masa jahiliah bergemberi ria padanya. Kemudian Rasulullah bersabda : Allah telah menukar dua hari ini dengan yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fithri. (HR. Abu Dawud).
Sebelum merayakan hari raya Idul Fithri, umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan yang ke sembilan yaitu Ramadhan dan pada tanggal 1 syawal kita merayakan hari raya Idul Fithri dengan penuh kegembiraan. Di negara kita hari raya Idul Fithri dirayakan dengan tradisi mudik atau pulang kembali ke asalnya masing-masing untuk bertemu dengan bapak dan ibunya di tempat tinggalnya masing-masing. Dan saat bertemu dengan bapak dan ibunya tersebut kita melaksanakan tradisi sungkem atau salim atau salaman untuk memohon ampunan atas segala dosa yang kita perbuat. Dalam tradisi tersebut, kita melihat bahwa umat Islam di Indonesia telah mempunyai tradisi untuk memenuhi hasrat atau keinginan setiap manusia untuk kembali ke asal jasmaninya, yaitu untuk kembali menemui kedua orang tuanya dan bersalim kepada keduanya.
Untuk memenuhi hasrat atau keinginan rohani untuk kembali kepada asalnya, Allah memerintahkan setiap umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji. Pada hakikatnya proses ritual ibadah haji merupakan proses perjalanan setiap manusia untuk pulang kembali ke asalnya baik secara jasmani maupun secara rohani. Jasmani manusia jika ditelusuri asalnya, semuanya berasal dari nenek moyang yang satu yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa, sedangkan semua rohani manusia berasal dari Allah. Dalam ritual ibadah haji yang menjadi puncaknya adalah wuquf di padang Arafah yang merupakan tempat pertemuan antara Nabi Adam dan Siti Hawa ketika diturunkan di atas dunia. Dari pertemuan itu maka lahirlah keturunan dari mereka berdua, yang sekarang jumlahnya telah mencapai kurang lebih 5 milyar. Setiap umat Islam mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat untuk kembali menapaktilasi atau menulusuri asalnya yaitu dengan berkunjung ke padang Arafah untuk merenungkan proses terjadinya pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa tepatnya di Jabal Rahmah.
Sedangkan secara rohani setiap manusia juga mempunyai hasrat atau keinginan untuk kembali kepada asalnya yaitu Allah SWT. Keinginan ini disalurkan melalui proses ibadah haji dengan cara Wuquf di padang Arafah untuk mengenal dan bertemu dengan Allah. ( wuquf = menghentikan. Sedang arafah = mengenal. Jadi hakekat wuquf dipadang arafah adalah proses ritual untuk menghentikan aktifitas jasmani untuk mengenal dan bertemu dengan Asal kita yaitu Allah SWT ). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an :
Wa adzdzin fin naasi bil hajji ya’tuuka rijaalaw wa ‘alaa kulli dhaamiriy ya’tiina min kulli fajjin ‘amiiq
Dan serulah manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka datang kepada engkau dengan berjalan kaki dan mengendarai unta-unta yang kurus yang datang dari segala penjuru yang jauh. (QS Al-Hajj 22 : 27).
Secara jasmani tujuan melaksanakan ibadah haji, adalah melaksanakan rukun haji dengan sempurna, yang merupakan simbol dari gerak kembali ke asal-usul kejadian jasmani kita. Sedangkan secara rohani bertujuan untuk kembali menemui asalnya yaitu Allah. Hal ini berarti bahwa setiap umat Islam yang melakukan ibadah haji harus kembali menemui asal rohaninya yaitu Allah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an :
Wa aniibuu ilaa robbikum wa aslimuu lahu min qobli ay ya’tiyakumul ‘adzaabu tsumma la tunshoruun
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang kepadamu azab kemudian kamu tidak dapat ditolong lagi. (QS Az-Zumar 39 : 54)
Maka segeralah kamu kembali menghadap kepada Allah , sesungguhnya aku pemberi peringatan yang terang dari Allah kepada kamu “. ( QS Adz Dzariyat 51 : 50 )
Yaa ayyuhal insaanu innaka kaadihun illa ribbika kadhan fa mulaaqiih
Hai manusia, sesungguhnya engkau harus berusaha dengan usaha yang keras untuk menemui Tuhan dikau, sampai engkau bertemu dengannya. (QS Al-Insyiqaq 84 : 6)
Qul innamaa a’izhukum bi waahidatin an taquumuu lillahi matsnaawa furoodaa tsuma tatafakkaru maa bi shoohibikum min jinnatin in huwa illa nadziirul lakum baina yadai ‘adzaabin syadiid
Katakanlah : sesungguhnya aku hanya mengajarkan kepada kamu satu ajaran saja yaitu bahwa kamu menghadap Allah, berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian hendaklah kamu pikirkan tiadalah sahabat kamu itu gila, dia tiada lain hanyalah pemberi peringatan kepada kamu sebelum datang azab yang sangat keras ( QS Saba 34 : 46 )
Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan manusia untuk mengadakan pertemuan atau perjumpaan dengan Allah sewaktu masih hidup di dunia, dengan melaksanakan ibadah haji. Jadi Idul Adha merupakan sarana untuk merayakan kembalinya seorang manusia yang berhasil bertemu dengan Tuhannya. Kata Id berasal dari bahasa Arab, yang artinya kembali, sedangkan kata Adha seakar dengan kata Dhuha yang artinya Terangnya Cahaya Siang, sehingga Idul Adha dapat diartikan sebagai proses kembalinya seorang manusia yang pulang ke asalnya yaitu Cahaya Allah Yang Terang Benderang dengan melakukan prosesi Wuquf di padang Arafah. Wukuf artinya berhenti atau menghentikan segala aktifitas jasmani dan inderawi dalam rangka mengenal (Arafah) Allah Yang Padang (Terang), sesuai dengan hadits Nabi SAW : “Al Hajju arofah” = Bukti itu adalah mengenal. Mengenal siapa ? tentunya adalah mengenal Allah atau Ma’rifatullah.
AKU INGIN PULANG
Oleh : Ebit G.Ade
Kemana pun aku pergi
Bayang-bayangmu selalu mengejar
Bersembunyi dimana pun
Selalu engkau temukan
Aku merasa letih dan ingin sendiri
Ku tanya pada siapa
Tak ada yang menjawab
Sebab semua peristiwa
Hanya di rongga dada
Pergulatan yang panjang dalam kesunyian
Aku mencari jawaban di laut
Ku seret langkah menyusuri pantai
Aku merasa mendengar suara
Menutupi jalan menghentikan petualangan
Kemana pun aku pergi selalu ku bawa-bawa
Perasaan yang bersalah datang menghantui ku
Masih mungkinkah pintumu ku buka
Dengan kunci yang pernah kupatahkan
Lihatlah aku terkapar dan luka
Dan dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa
Aku ingin pulang
Aku harus pulang
Aku ingin pulang
Aku harus pulang