Dalam pandangan syari’at khususnya dalam ilmu fiqh, qurban memiliki makna ritual, yakni menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan pada waktu tertentu, yaitu pada hari nahar (tanggal 10 Dzulhijah) dan hari tasyrik (tanggal 11-13 Dzulhijah).
Menurut ulama ahli fiqh, ibadah qurban harus dengan menyembelih hewan qurban, seperti kambing, sapi atau unta, dan tidak boleh diganti dengan lainnya, seperti uang atau beras. Para ulama fiqh juga sepakat bahwa hukum berqurban hanyalah sunnat alias tidak wajib.
Dari pemahaman syari’ati (fiqhiyah) tersebut terkesan bahwa ibadah qurban hanya merupakan sikap ubudiyah yang dianjurkan bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan materi. Qurban terkesan hanya rutininitas ibadah tahunan. Bahkan terkesan pula sekedar acara pesta pora daging yang dibungkus ritual dan rutinitas ubudiyah belaka
"Daging daging dan darahnya itu sekali kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan dari (ruhani) kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayahNya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang orang yang berbuat baik". ( QS Al Hajj : 37 )
Dari ayat tersebut diatas, yang dimaksudkan dari sembelihan qurban sebenarnya bukanlah untuk sekedar menyembelih saja, karena tidaklah sampai kepada Allah sedikitpun dari daging dan darahnya, karena Allah maha kaya lagi terpuji, tetapi yang sampai kepada Allah adalah keikhlasan dari setiap jiwa dalam menyembelihnya.
Dalam ayat tersebut juga terdapat dorongan untuk ikhlas dalam berqurban, dan bertujuan untuk mendapatkan kesempurnaan Nur Allah semata, bukan karena kebanggaan dan bukan juga karena riya’ dan sum’ah (ingin dapat reputasi atau pujian dengan dilihat orang atau diperdengarkan ), bukan pula karena sekadar sudah menjadi kebiasaan. Hal ini juga berlaku pada semua ibadah ibadah lainnya. Jika tidak disertai dengan ikhlas atau ketulusan dan ketaqwaan kepada Allah, maka ibadah kita seperti kulit yang tidak ada isi atau intinya dan tak ubahnya seperti jasad tanpa ruh.
Darah Dan Daging Tidak Dapat Mencapai Allah |
Menurut ulama ahli fiqh, ibadah qurban harus dengan menyembelih hewan qurban, seperti kambing, sapi atau unta, dan tidak boleh diganti dengan lainnya, seperti uang atau beras. Para ulama fiqh juga sepakat bahwa hukum berqurban hanyalah sunnat alias tidak wajib.
Dari pemahaman syari’ati (fiqhiyah) tersebut terkesan bahwa ibadah qurban hanya merupakan sikap ubudiyah yang dianjurkan bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan materi. Qurban terkesan hanya rutininitas ibadah tahunan. Bahkan terkesan pula sekedar acara pesta pora daging yang dibungkus ritual dan rutinitas ubudiyah belaka
"Daging daging dan darahnya itu sekali kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan dari (ruhani) kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayahNya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang orang yang berbuat baik". ( QS Al Hajj : 37 )
Dari ayat tersebut diatas, yang dimaksudkan dari sembelihan qurban sebenarnya bukanlah untuk sekedar menyembelih saja, karena tidaklah sampai kepada Allah sedikitpun dari daging dan darahnya, karena Allah maha kaya lagi terpuji, tetapi yang sampai kepada Allah adalah keikhlasan dari setiap jiwa dalam menyembelihnya.
Dalam ayat tersebut juga terdapat dorongan untuk ikhlas dalam berqurban, dan bertujuan untuk mendapatkan kesempurnaan Nur Allah semata, bukan karena kebanggaan dan bukan juga karena riya’ dan sum’ah (ingin dapat reputasi atau pujian dengan dilihat orang atau diperdengarkan ), bukan pula karena sekadar sudah menjadi kebiasaan. Hal ini juga berlaku pada semua ibadah ibadah lainnya. Jika tidak disertai dengan ikhlas atau ketulusan dan ketaqwaan kepada Allah, maka ibadah kita seperti kulit yang tidak ada isi atau intinya dan tak ubahnya seperti jasad tanpa ruh.