"Sesungguhnya kamu kembali menghadap Allah dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu semua yang Kami anugerahkan kepadamu..." (QS 6 :94)
Sesungguhnya kosong atau suwung adalah suatu proses Nafi, yaitu menolak segala keberadaan semu yang ada di dunia ini. Kosong bukanlah dengan menghipnotis akal fikiran dengan menanamkan kata-kata yang sama, "Saya kosong", "Saya tiada memiliki apapun", "Saya tidak bisa apa apa", "Saya lemah", "Saya tiada" dan sebagainya.
"Mengosongkan" diri seperti diatas, semua itu juga sama-sama semunya, semuanya itu disebut "menipu" diri, bukan mengosongkan diri. Mengosongkan diri adalah suatu proses dalam lelaku, berjalan dan membenamkan diri dalam zuhud dan waro', karena tanpa zuhud dan waro' maka kosong tetaplah kata kata kosong tanpa arti.
Kita mudah berkata tentang kosong, namun dalam lelaku tak semudah apa yang dikatakan, karena dalam lelaku itu, banyak terdapat gangguan "syetan". Seseorang yang tiada didera gangguan syetan terus menerus, namun tiba tiba saja kosong, maka dia sedang tertipu.
Kosong atau suwung itu ada beberapa tingkatan :
1. Suwung ing dalem angen-angen.
2. Suwung ing dalem kasajaten.
Suwung ing dalem angen-angen adalah kosong yang merupakan bawaan angan angan, karena kita semua bisa mengangan-angankan tentang kosong, tiada memiliki apa apa, tiada berdaya apa-apa dan sebagainya, namun nyatanya dalam lahiriahnya kita memiliki banyak hal dan masih saja kesulitan untuk berbagi dengan orang lain.
Suwung ing dalem kasajaten, adalah suwung di dalam kesejatian. Suwung seperti ini adalah suwung atau kosong yang benar. Suwung seperti ini pun masih terbagi menjadi 2 bagian.
Kosong itu sebenarnya adalah sebuah lelaku atau "jalan hidup", bukan sekedar kosongnya otak atau hati, karena untuk mengosongkan otak atau hati manusia, bisa dengan mudah, dengan cara memakai narkoba, lalu nge-fly dan merasa kosong.
Lalu bagaimana sebenarnya cara lelaku pengosongan itu ? Sesungguhnya lelaku yang sebenarnya itu seperti keadaan ketika kita dalam keadaan junub dan hendak melaksanakan sholat. Yang pertama, harus dilakukan adalah mandi jinabat, lalu berwudhu. Mengapa ? Karena setiap hari kita telah "bersetubuh" dengan duniawi, akibat dorongan syahwat duniawi, maka kita harus melakukan mandi jinabat dahulu, yaitu mesti meninggalkan duniawi untuk memasuki tahap pengosongan jiwa. Tetapi hal demikian tidak memungkinkan bagi sebagian besar diantara kita, maka pengosongan hanya sebatas dipermukaan saja, atau tidak melakukan pengosongan terlalu dalam. Dalam hal ini kita bisa melakukan uzlah ringan, yaitu latihan membuang kemelekatan dengan duniawi, maksudnya adalah agar hati kita tidak melekat dan terikat dengan duniawi, walaupun kita memiliki kekayaan duniawi tersebut.
Tingkatan di atas uzlah adalah kholawat. Kholawat yang sebenarnya adalah memutuskan diri terhadap apapun selain Allah. Memang ini untuk lelaku total bagi yang bisa dan bersungguh sungguh. Itulah tahap awal untuk mencapai pengosongan, yang mesti kita jalankan jika benar hendak kosong.
Untuk mencapai kosong yang lebih jauh lagi, maka tak ada jalan lain selain berpaling dari seluruh kesenangan keduniawian yang tidak berguna.
Membebaskan diri dari semua keterikatan, baik keterikatan dengan masa lalu, keterikatan dengan khayalan semu masa depan, keterikatan dengan kesenangan duniawi yang memenjara ruh, dan mendidik nafsu agar disiplin dalam keadaan miskin papa, dimana tidak mempunyai keinginan. Kadang kita mesti mencapai keadaan tidak berdaya sama sekali, tidak punya apa apa dan siapa siapa, tiada tempat mengadu dan hina papa, agar faham tentang kosong. Semuanya itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap citra kesenangan duniawi yang tertangkap oleh batin akan direkam, dan menambah tebal hijab.
Mulailah berlatih mengosongkan, jangan ditunda lagi. Karena disitulah banyak ilham ilham Ketuhanan yang kita terima, yang kemudian dapat dituangkan dalam tulisan.
"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan matikanlah aku dalam keadaan miskin dan kumpulkan aku bersama orang orang miskin" (HR. Al Hakim dan Ibnu Majah)