Rasulullah menegaskan bahwa seseorang yang beribadah / menyembah Allah, seharusnya dirasakan “seakan-akan melihat Tuhan. Lafal hadits itu adalah :
“Ihsan, adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah”(HR. Muslim dari ‘Umar r.’a)
Dalam lafal hadits terdapat “Ka-anna” yang terdiri dari dua kata “ka” dan “anna”. Dalam tata bahasa Arab, perkataan “ka” dinamakan “hartfut tamstil” (menunjukan umpama atau contoh). Sedang perkataan “anna” adalah “lit-taukid” (untuk menguatkan), yang dalam bahasa Indonesia umumnya diartikan sesungguhnya. Maka arti yang tepat dari kata “ka-anna” adalah “seperti sesungguh-sungguhnya”. Seorang aktor atau aktris yang baik, harus mampu menunjukan permainannya seperti sungguhan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Expresi wajah/mimik, vokal, lagu dan lain-lain harus cenderung kepada keadaan yang sebenarnya.
Maka setiap melakukan ibadah khususnya pada waktu sholat, bila tidak disertai perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Tuhan, maka ibadah itu tidak tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik) Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45)
Dikalangan umat Islam terdapat beberapa pendapat tentang “melihat Tuhan” yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dapat melihat Tuhan di akhirat
2. Tidak dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat
3. Dapat melihat Tuhan di dunia dengan mata hati, sedang
di akhirat dengan lebih nyata.
Seluruh Ulama di kalangan Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah sepakat bahwa semua orang mukmin akan melihat Allah SWT. di akhirat kelak dengan berpedoman pada firman Allah :
“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri karena memandang kepada Tuhan-Nya”. (QS. Al-Qiyamah : 22-23).
“Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat TuhanNya)”. (QS. Yunus 10 : 26).
“Ketahuilah, sesungguhnya mereka pada hari itu terdinding untuk memandang Tuhan-Nya” (QS Al-Muthaffifin 83 : 15).
Nabi Muhammad juga pernah bersabda mengenai masalah melihat Allah :
“Dari Abi Hurairah r.a, sesungguhnya orang-orang (Para Sahabat) bertanya : Ya Rosulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat ? Maka Rasulullah menjawab : “Sulitkan kamu melihat bulan di malam bulan purnama ? Para sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi : “Apakah kamu sulit melihat matahari diwaktu tanpa awan ?”Pra sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu”. ( HR Bukhari dari Abu Hurairah )
Syeikh Rabi r.a berkata : Saya telah mendengar Imam Syafi’i berkata :
“Kami tahu tentang itu (melihat Tuhan) bahwa ada golongan yang tidak terdinding memandang kepada-Nya, mereka tidak bergerombol melihat-Nya”.
“Sesungguhnya kedudukan sorga yang paling rendah ialah penghuni sorga yang melihat sorganya, isterinya, pembantunya dan pelaminannya dari jarak perjalanan seribu tahun. Dan penghuni sorga yang paling mulia diantara mereka ialah yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Di hari itu penuh ceria memandang TuhanNya”. ( HR Turmudzi dari Stuwair r.‘a diterima beliau dari Ibnu ‘Umar r.a )
Adapun golongan Mu’tazilah meyakini bahwa mustahil untuk dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat dengan berpedoman pada firman Allah :
“Tidak ada mata yang dapat melihat Tuhan, tetapi Tuhan dapat melihat mata” (QS Al An’am 6 : 103 )
Demikian pula dengan ayat 22-23 Al-Qiyamah, perkataan n a z h i r a h (melihat) mereka artikan dengan menunggu. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa yang terdapat pada Hadits-hadits Rasulullah SAW. Zamakhsyari, seorang Ulama tafsir di kalangan Mu’tazilah hanya menyatakan “mustahil dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat” tanpa memberikan penjelasan dan dasar alasan yang lebih meyakinkan.
Syeikh ‘Allamah Al-Qori menyindir golongan Mu’tazilah dengan Syi’irnya:
Orang Mukmin melihat Tuhannya,
tanpa bentuk tanpa umpama,
nikmat lain tiada arti,
dibanding melihat Ilahi Rabbi,
kaum Mu’tazilah rugi seribu rugi.
Di kalangan Al-Asy’ari (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) masih dipertanyakan, apakah melihat Tuhan hanya khusus di akhirat saja ?. Dalam membahas hal tersebut terdapat dua pendapat :
1. Melihat Tuhan hanya di akhirat saja.
2. Melihat Tuhan hanya bukan di akhirat saja tetapi juga dapat melihat Tuhan selagi di dunia ini, yaitu dengan “mata batin” (bashirah).
Kedua pendapat tersebut didasari dengan alasan : bahwa Rasulullah SAW pada waktu melakukan Isra Mi’raj benar-benar melihat Tuhan, sehingga Sayidina Hasan bin ‘Ali r.a berani bersumpah sewaktu menerangkan hal itu. Demikian pula dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbas r.a, yang oleh Imam Nawawi disimpulkan:
“Kesimpulannya, Sesungguhnya rajih (alasan kuat) menurut sebagian Ulama bahwa Rasulullah SAW. melihat Tuhannya dengan nyata / mata, pada malam Isra berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan lain-lain”.
Menurut Syeikh Ibnu Hajar Haitami tentang Rasulullah melihat Tuhan di malam Isra :
“Dikalangan Ahlus Sunnah telah terjadi kesepakatan tentang masalah Rasulullah melihat Tuhan di malam Mi’raj dengan nyata/mata”.
Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah dengan mata batinnya, sebagai suatu “Karomah” untuk mereka, seperti juga mukjizat untuk Rasulullah SAW. Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan Ulama Shufi umumnya mengemukakan :
“Apabila ruhaniyah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata tidak akan melihat, kecuali hanya dengan pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin”
Pengertian “ruhaniyah dapat menguasai basyariyat” dapat diambil misal, seorang yang sangat takut dengan hantu. Rasa takut tersebut akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga apabila ia berjalan pada malam hari, kemudian tiba-tiba ia melihat pohon atau daun pisang yang bergerak tertiup angin, maka ia akan berlari ketakutan karena dikiranya hal itu adalah sosok hantu yang menakutkan.
Bisa juga terjadi melihat Tuhan di dalam mimpi. Dalam kitab Sirajut-Tholibin disebutkan :
“Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar Ulama Shufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan”.
Diklalangan ulama Shufi terdapat keyakinan bahwa “melihat Tuhan bisa terjadi dengan pandangan mata batin yang mendapat n u r dari Allah SWT, yang oleh Syeikh Junaid disebut Nurul Imtinan. Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat waro’ (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang Shufi besar pada zamannya, yang tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh Shufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain, Abu ‘Ali Ad-Daqaq, Abu Bakar Al-Atthar, Al-Jurairi, ‘Athowi dan lain-lain. Diceritakan saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Qur’an. Beliau wafat pada hari Jum’at tahun 297 Hijriyah, setelah selesai membaca ayat ke 70 Surat. Al-Baqarah.
Sehubungan dengan ucapan beliau tentang Tuhan, murid beliau bertanya :
“Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau menyembah-Nya ? Beliau menjawab : “Kami (Para Arif) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Kami juga tidak akan bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenal-Nya”.
Kesimpulannya adalah, bahwa melihat Tuhan di dunia sepanjang pendapat para ‘Arif bila bisa saja terjadi, dengan Nur Mukhasyafah. Dalam hal iniyang perlu diperhatikan adalah, bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukan berarti melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warnanya dari Zat Tuhan), yang mereka istilahkan “bi ghoiri kaifin wa hashrin wa dhorbin min mistalin”. Selain itu mereka pun mengakui bahwa penglihatan kelak diakhirat jauh lebih jelas dan lebih nyata dibanding apa yang mereka lihat di dunia sekarang.
“Imam Qurthuby berkata : “Melihat Allah SWT di dunia (dengan mata hati) a dapat diterima akal. Kalau sekiranya tidak bisa, tentulah permintaan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Tuhan adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa yang boleh dan dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi Musa tidak meminta, hal ini bisa terjadi dan bukan mustahil”.
(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an)
“Dan firman Allah : “Tatkala Tuhan tajalli /tampak nyata pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur” Maka apabila Allah bisa tajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, kenapa tidak mungkin Allah “tajalli” pada Rasul-Rasul-Nya dan Wali-WaliNya ?”
(Kawasyiful-Jilliyah)
NABI MUSA A.S MEMOHON UNTUK MELIHAT TUHAN
Berbicara tentang permohonan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Allah SWT. Sebaiknya kita perhatikan dahulu firman Allah :
“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang kami tentukan, dan Tuhan-Nya berbicara kepadanya, maka Musa berkata : Ya Tuhanku, nampakkan (Dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. “Tuhan berfirman: “Kamu tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit itu, bila bukit itu tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhan tajalli / tampak pada bukit itu, kejadian itu menyebabkan bukit itu hancur dan Musapun pingsan. Setelah Musa sadar kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang pertama yang beriman”. (QS. Al-Araf 7 : 143)
Dalam ayat ini terdapat kata-kata yang perlu di kaji lebih dalam yaitu :
1. Tidak akan melihat Aku
2. Tuhan tajalli pada gunung / bukit.
3. Bukit / gunung hancur, dan
4. Musa a.s pingsan.
Tidak akan melihat Aku, suatu pernyataan dari Allah, bahwa bagaimanapun juga mata kepala yang berbentuk bundar yang terletak pada rongga mata dengan daya lihatnya, tidak akan bisa melihat Tuhan. Tetapi tidak berarti menutup kemungkinan untuk dilihat dengan mata hati. Bila mata hati itu dilengkapi oleh Allah dengan Nur-Nya yang kemudian disebut dengan “nurul bashirah” (Cahaya pandangan batin) dan kemudian terdapat pancaran dan nyala pandangan batin yang disebut (bashar) yang kemudian mata kepala sama sekali tidak berfungsi termasuk tidak berfungsinya daya pikir dan seluruh kemampuan fisikal (jasmani) yang oleh orang Shufi digambarkan dengan “fana-dzauqy”, maka pada kondisi itulah terjadinya melihat Tuhan. Ibnu Taimiyah berkata :
“Banyak orang-orang Shufi berkata : “ Aku melihat Allah’. Diceritakan orang tentang ucapan Ja’far bin Muhammad (As-Shadiq) ketika beliau ditanya : “Apakah anda melihat Allah ?” Ja’far menjawab “Aku melihat Allah dan akupun menyembah-Nya”. Si penanya berkata lagi : Bagaimana anda melihat-Nya ?” Beliau menjawab : Tidak mungkin mata kepala dapat melihat-Nya dengan keterbatasannya itu, tetapi Tuhan dapat dilihat dengan mata hati yang Haqqul Yaqin (keyakinan sebenarnya)”
Tafsir Imam Qurthuby sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah tersebut.
Tuhan tajalli pada gunung / bukit, bukanlah berarti “Allah menampakan diri-Nya mengambil tempat pada bukit / gunung. Allah Yang Maha Esa, Maha Meliputi, mustahil bagi-Nya menempati ruang dan tempat dalam insidentil atau permanen. Saidina ‘Ali berkata :
“Allah tidak bertempat, dialah yang mencipatakan waktu dan tempat”.
(Alqozhul Himam)
Pengertian tajali menurut pandangan Shufi / ‘Arif Billah adalah: DIA MENAMPAKKAN DIRINYA SENDIRI TANPA ADANYA YANG LAIN DARI DIA, DENGAN KESEMPURNAAN SIFAT-SIFATNYA, NURNYA, YANG LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN. Laisa kamistlihi syai’un tidak ada sesuatu dan satu pun yang seumpama / menyamai-Nya,- tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat diucapkan, tak ada pula huruf yang dapat dirangkai. Tajalli Allah pada gunung, merupakan isyarat bahwa Allah bisa saja bertajalli pada benda apapun juga, lebih-lebih kepada Rasul / Nabi-Nabi dan para Wali-Nya atau kepada siapun yang Ia kehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka Allah akui bahwa tangan, kaki, mata, telinga, hati dan seluruh yang ada pada diri si hamba adalah tangan dan kakinya Allah SWT. Banyak Hadits yang merupakan dalil dan keterangan yang menguatkan hal itu. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abi Umamah dalam Kitab Al-Kabir :
“Hamba-Ku yang selalu merasa dekat pada-Ku dengan melaksanakan amalan-amalan nawafil / sunnat / tambahan, sehingga Aku mencintainya. Akulah yang jadi pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, Akulah yang jadi matanya yang dengan itu dia melihat, Akulah yang menjadi lidahnya yang dengan itu ia bicara, Aku pula yang menjadi hatinya yang dengan itu ia bercita-cita. Bila ia meminta / memohon kepada-Ku, Aku perkenankan doanya, dan bila ia meminta tolong kepada-Ku, Aku tolong dia. Aku amat suka kepada hamba-Ku yang mempersembahkan ibadahnya kepada-Ku dengan penuh keikhlasan” (HR. Thobrani dari Umamah r.a.)
Untuk mencapai tajalli, harus melalui beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan dan ketekunan, jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Pada teori lain diistilahkan; takhalli, tahalli, seterusnya sampai tajalli.
Takhalli berarti pengosongan dari segala sifat-sifat yang tercela. Kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji, disebut Tahalli. Jadi tahalli adalah pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya dengan hanya semata-mata “dzikirullah”. Pengosongan dalam arti “fana segala yang fana” akan menyebabkan hati dan pikir itu pun menjadi fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Dalam Istilah kitab kuning hal itu disebut dengan : “rasa yang tiada berasa”.
Semua sudah terbentang, semua sudah jelas, semua sudah nyata, maka itulah “mukasyafah”. Disitulah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa yang sedang pingsan dan gunung yang hancur berantakan. Musa a. s. tidak mampu untuk berbicara, mana Musa ? Mana gunung ? Mana Tuhan ?, akhirnya seperti apa yang dikatakan oleh Syeikh Junaid “Hakikat Tauhid (sebenar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya: kenapa dan bagaimana”.
Allah berfirman:
“Segala sesuatu hilang sirna/hancur tiada arti, kecuali wajah-Nya/Zat-Nya (QS. Al-Qashas 28 : 88)
“semua pasti lenyap sirna, sedang yang kekal abadi hanya wajah Tuhanmu Yang Maha memiliki kebesaran dan kemuliaan” (QS. Rahman 55 : 26-27)
“Apa yang ada padamu akan hancur, dan apa yang ada pada Allah kekal abadi” (S. An-Nahl 16 : 96)
Disinilah makna hancurnya gunung dan pingsannya Musa a.s. Seorang yang berjiwa Shufi, bila merenungkan ayat ini (QS 7 :143) akan bahagia dan meneteskan air mata dan berkata lirih “Betapa bahagia wahai gunung, betapa besar engkau, betapa kerasnya engkau, betapapula tegarnya engkau, wahai gunung batu, namun engkau rela menerima kehancuran, kefanaan, kesirnaan dihadapan Allah. Dikefanaanmu, kau rasakan keindahan dan kenikmatan yang tiada tara.
MENYINGKAP RAHASIA MAKNA “THURSIN” SI GUNUNG SINAI
Firman Allah dalam Al-Qur’an “Demi Tin, Zaitun, dan orang-orang Thursin dan demi negeri yang aman”. (QS. At-Tin : 1-2)
Diriwayatkan orang, dikala Musa a.s. menceritakan kepada pengikut beliau bahwa beliau akan melakukan dialog dengan Tuhan di daerah perbukitan, lalu masing-masing gunung dan bukit menawarkan dirinya untuk dijadikan tempat pertemuan agung dan dialog tingkat maha tinggi itu. Masing-masing menunjukan penampilan bergengsi seraya berkata : “Akulah gunung terbaik dan paling baik”, “Akulah bukit terindah untuk dipandang”, “Akulah yang paling kokoh dan paling tegar diantara jajaran gunung dan bukit di wilayah ini”. Musa a.s. diam seribu bahasa. Sambil memandang dengan penuh perhatian, mengitari dan menyimak suara dan kata, terlihat oleh beliau hanya ada sebuah bukit yang tidak mengeluarkan sepatah kata juapun. Itulah si bukit Sinai (THURSIN). Musa a.s. mendatangi si bukit itu seraya bertanya : Wahai bukit kenapa tiada kata dan suaramu seperti temanmu yang lain ? “Bukit itu menjawab : “Wahai tuanku, Aku mengaku bahwa engkau adalah utusan Allah. Akupun malu untuk bicara. Akupun merasa kerendahan diriku dihadapan Allah. Namun demikian, jika sekiranya Allah berkenan, Aku tentu menyampaikan puji syukurku yang tiada terhingga kehadirat Allah”. Akhirnya, si THURSIN inilah yang mendapat anugerah. Si bukit yang tidak mempunyai kesombongan dan tidak mengagung-agungkan dirinya. Si bukit yang merasa kefanaan dirinya di hadapan Allah. Bukit yang mendapatkan kehormatan dicantumkan namanya di dalam Al-Qur’an.
Adakah makna yang tersembunyi dibalik pengertian bukit yang bernama THURSIN ? Adakah hal-hal yang metaporis dari kenyataan yang terjadi sebenarnya ?. Bukankah Al-Qur’an penuh dengan amtsal dan ibarat ?. Salahkan bila ada yang hendak berimajinasi merenungkan makna hakiki atas bukit yang berbahagia itu sepanjang tidak menyalahi dan bertentangan dengan itikad keimanan yang hak dan benar ? Tentu di dalam diri ini akan menjawab “tidak”. Ini imajinair. Bukan tafsir yang mempunyai kekuatan arti hukum dan hujjah.
Dalam Surat At-Tin, Allah bersumpah atas nama makhluknya, tiga benda yang ditonjolkan adalah Tin, Zaitun, Thursin yang dibawa dengan “Waw lil-qosam” (huruf waw untuk kata sumpah). Sebagian Ulama Tafsir menyebutnya “waw lit-tanbih” (waw untuk diperhatikan).
Buah Tin bila diperas, berintikan minyak sebagai bahan pokok minyak wangi. Demikian pula buah Zaitun jika diperas, berintikan sari minyak untuk bahan makanan. Di dalam masyarakat kita terdapat sebuah perumpamaan tentang buah kelapa : “tempurung adalah syariat, daging kelapa adalah thariqat, bila dikukur/diparut lalu diperas menjadi santan yaitu hakikat, santan dimasak jadi minyak, ialah makrifat.
Bukit THURSIN (Tursina) sebuah bukit di padang pasir. Dari segi bahasa berarti “Puncak Sin”. Thur artinya puncak, dan sin adalah sin.
Siapakah Sin ?
“Ya Sin (Wahai Sin = manusia). Demi Qur’an yang penuh hikmat. Sesungguhnya engkau (Wahai Sin) adalah seorang Rasul”. (QS Ya Sin 36 : 1-5)
Seorang Rasul yang menerima Al-Qur’an adalah Muhammad SAW. Maka panggilan Wahai Sin berarti Wahai Muhammad.
Allah Tajalli Di puncak Sin.
Bukankah nama Muhammad sudah tertulis di pintu gerbang ‘Arasy ?, Bukankah Nabi Adam memohon ampun dengan wasilah Muhammad ?, bukankah Nabi Musa ‘alaihis-salam pernah berdoa kepada Allah; “Ya Allah andaikata aku hidup di zaman Muhammad , aku bersedia jadi pengikutnya ?, bukankah Muhammad SAW. Adalah RAHMATAN LIL’ALAMIN , alam yang lalu, kini yang akan datang ? (madly wal hadlir wal mustaqbal)
Masya Allah ….. betapa mulianya Muhammad di sisi Allah. Tanpa Muhammad tak akan ada rahmat yang dirasakan oleh alam dan isinya. Dalam hadis qudsi Allah berfirman :
“Kalau bukan engkau, kalau bukan engkau (Hai Muhammad) tidak kujadikan semua ini”.
Tidak heran bila Ibnu ‘Araby berkata : “Dia awal kejadian, dia pula akhir kenabian”. Muhammad bukan Tuhan. Bukanpula penjelmaan Tuhan. Dia makhluk yang diciptakan. Tetapi dia awal kejadian :
“Yang mula-mula diciptakan adalah Nur Nabimu Hai Jabir” (Al-Hadits).
Muhammad adalah rahmat bagi alam semesta dan segala isinya. Rahmat selalu ada di mana-mana, waktu lalu, kini dan akan datang. Rahmat datang dari sifat rahmaniyah dan rahimiyah Allah SWT. Sifat tidak berpisah dengan zat.
Di puncak Sin, di sari patinya tin dan zaitun, di sari patinya kelapa itulah dia “baladil amin” (negeri yang aman sentosa). Adakah negeri di muka bumi ini yang benar-benar aman dalam arti hakiki ? Tidak. Tak pernah ada kedamaian hakiki di muka bumi ini.
Lalu dimana ?
Di sana bukan tempat, di sana bukan ruang, tetapi itulah BALADIL AMIN, itulah dia HADRAT KETUHANAN.
“Di sisi Allah Maha Raja Diraja, Maha gagah perkasa“ (Al-Qur’an)
Seuntai bait syi’ir yang terasa amat berkesan :
“Sholawat dan salam untuknya,
manusia yang tiada otak bila tidak begitu,
Cahayanya cemerlang, sumber kejadian segalanya,
lenyap sirna aku dalam Nur-Nya Yang Agung,
tenggelam aku dalam Ke-Esa-an-Mu,
dengan rahasia-Mu, ya Tuhanku yang memiliki kemuliaan, tiada kata tiada huruf hanya kerinduan”.