Syeikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani
Allah SWT berfirman:
“Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” [At-Taubah: 33]
Kita patut merasa gembira dengan janji yang telah diberikan oleh Allah SWT melalui firmanNya itu, bahawa Islam dengan kearifan dan kebijaksanaannya mampu mengalahkan agama-agama lain. Namun tidak sedikit yang mengira bahawa janji tersebut telah terwujud pada masa Nabi saw, masa Khulafaur-Rasyidin, dan pada masa-masa khalifah sesudahnya yang bijaksana. Padahal kenyataannya tidak sedemikian. Yang sudah terealisasi saat itu hanyalah sebahagian kecil dari janji di atas, sebagaimana diisyaratkan oleh Rasul saw melalui sabdanya:
“Malam dan siang tidak akan sirna sehingga Al-Lata dan Al-’Uzza telah disembah. Lalu Aisyah bertanya: “Wahai Rasul, sungguh aku mengira bahawa tak kala Allah menurunkan firman-Nya: “Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai,” hal itu telah sempurna (realisasinya).” Beliau menjawab: “Hal itu akan terealisasi pada saat yang ditentukan oleh Allah”.” [1]
Banyak hadis-hadis lain yang menjelaskan masa kemenangan Islam dan tersebarnya ke berbagai penjuru. Dari hadits-hadits itu tidak diragukan lagi bahawa kemenangan Islam di masa depan semata-mata atas izin pertolongan Allah swt dengan catatan harus tetap kita perjuangkan, itu yang penting. Berikut ini akan saya tampilkan beberapa hadits yang saya harapkan dapat membakar semangat para pejuang Islam dan dapat dijadikan argumentasi untuk menyedarkan mereka yang fatalis tanpa mahu berjuang sama sekali.
Pertama: “Allah swt telah menghimpunkan (mengumpulkan dan menyatukan) bumi ini untukku. Oleh kerana itu, aku dapat menyaksikan belahan bumi Barat dan Timur. Sungguh kekuasaan umatku akan sampai ke daerah yang dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku itu.” [2]
Ada hadits-hadits lain yang lebih jelas dan luas yaitu:
Kedua: “Sungguh agama Islam ini akan sampai ke bumi yang dilalui oleh malam dan siang. Allah tidak akan melewatkan seluruh kota dan pelosok desa, kecuali memasukkan agama ke daerah itu, dengan memuliakan yang mulia dan merendahkan yang hina. Yakni memuliakannya dengan Islam dan merendahkannya dengan kekufuran.” [3]
Tidak diragukan lagi bahawa tersebarnya agama Islam kembali kepada umat Islam sendiri. Oleh kerana itu mereka harus memiliki kekuatan moral, materi dan persenjataan hingga mampu melawan dan mengalahkan kekuatan orang-orang kafir dan orang-orang durhaka. Inilah yang dijanjikan oleh Nabi saw:
Ketiga: “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Qubail. Ia menuturkan: “(Pada suatu ketika) kami bersama Abdullah Ibnu Amer Ibnu Al-Ash. Dia ditanya tentang mana yang akan terkalahkan lebih dahulu, antara dua negeri, Konstantinopel atau Romawi. Kemudian ia meminta petinya yang sudah agak lusuh. Lalu ia mengeluarkan sebuah kitab.” Abu Qubail melanjutkan kisahnya: Lalu Abdullah menceritakan*: “Suatu ketika, kami sedang menulis di sisi Rasulullah saw. Tiba-Tiba beliau ditanya: “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau menjawab: “Kota Heraclius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.”. Maksudnya adalah Konstantinopel.” [4]
Kata Rumiyyah dalam hadis di atas maksudnya adalah Roma, ibu kota Itali sekarang ini, sebagaimana bisa kita lihat di dalam Mu’jamul Buldan (Ensiklopedia Negara).
Sebagaimana kita ketahui, bahawa kemenangan pertama ada di tangan Muhammad al-Fateh Al-Usmani. Hal ini terjadi lebih dari lapan ratus tahun setelah Nabi saw menyabdakan hadits di atas. Kemenangan kedua pun akan segera terwujud atas seizin Allah swt, sebagaimana firmanNya:
“Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi.” [Shaad: 88]
Tidak diragukan lagi bahawa kemenangan kedua mendorong adanya kebutuhan terhadap Khilafah yang tangguh. Hal inilah yang telah diberitakan oleh Rasulullah saw melalui sabdanya:
Keempat: “Kenabian telah terwujud di antara kamu sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Dia akan menghilangkannya sesuai dengan kehendak-Nya, setelah itu ada khalifah yang sesuai dengan kenabian tersebut, sesuai dengan kehendak-Nya pula. Kemudian Dia akan menghapusnya juga sesuai dengan kehendak-Nya. Lalu ada raja yang gigih (berpegang teguh dalam memperjuangkan Islam), sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu ada seorang raja diktator bertangan besi, dan semua berjalan sesuai dengan kehendak-Nya pula. Lalu Dia akan menghapuskannya jika menghendaki untuk menghapusnya. Kemudian ada khalifah yang sesuai dengan tuntunan Nabi. Lalu Dia diam.” [5]
Selanjutnya hadits yang berisi berita gembira dari Nabi saw mengenai kembalinya kekuasaan kepada kaum Muslimin dan tersebarnya pemeluk Islam di seluruh penjuru dunia hingga dapat membantu tercapainya tujuan Islam dan menciptakan masa depan yang prospektif dan membanggakan hingga meliputi bidang ekonomi dan pertanian. Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi saw:
“Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum tanah Arab menjadi tanah lapang yang banyak menghasilkan komoditas penting dan memiliki pengairan yang memadai.” [6]
Berita-berita gembira itu mulai terealisasi di beberapa kawasan Arab yang telah diberi karunia oleh Allah berupa alat-alat untuk menggali sumber air dari dalam gurun pasir. Di sana bisa kita lihat adanya inisiatif untuk mengalirkan air dari sungai Eufrat ke Jazirah Arab. Saya membaca berita ini dari beberapa surat kabar lokal. Hal ini mungkin akan menjadi kenyataan. Dan selang beberapa waktu kelak, akan benar-benar terwujud dan bisa kita buktikan.
Selanjutnya yang perlu diketahui dalam hubungannya dengan masalah ini adalah sabda Nabi saw:
“Tidak akan datang kepadamu suatu masa, kecuali masa sesudahnya akan lebih buruk, sampai kalian bertemu dengan Tuhanmu (yakni datangnya hari kiamat).” [7]
Hadits ini selayaknya dipahami dengan membandingkan hadits-hadits lain yang terdahulu dan hadits lain (yang ada hubungannya). Seperti halnya hadits-hadits tentang Mahdy dan turunnya Nabi Isa as. Hadits-hadits itu menunjukkan bahawa hadits ini tidak mempunyai arti secara umum, tetapi mempunyai arti khusus (sempit). Oleh kerana itu, kita tidak boleh memahaminya secara umum (apa adanya), sehingga menimbulkan keputusan yang merupakan sifat yang harus dibuang jauh dari orang mukmin. Sebagaiman firman Allah swt:
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya, dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” [Yusuf: 87]
Saya senantiasa memohon ke haribaan Allah swt, semoga Dia berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang benar-benar mukmin.
Nota Kaki:
[1] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam-Imam yang lain. Saya (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) telah mentakhrijnya di dalam kitab saya Tahdzirus Sajid Min Ittikhadzil Qubur Masajida. (Peringatan Bagi yang Sujud Untuk Tidak Menjadikan Makam Sebagai Masjid) (hal: 122)
[2] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim (8/171), Imam Abu Dawud (4252), Imam Turmudzi (2/27) yang menilainya sebagai hadits shahih, Imam Ibnu Majah (2952) dan Imam Ahmad dengan dua sanad. Pertama berasal dari Tsauban (5/278) dan kedua dari Syaddad bin Aus (4/132), jika memang haditsnya mahfuzh (terjaga).
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok imam yang telah saya sebutkan di dalam kitab At Tahdzir (hal. 121). Sementara Imam Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya (1631, 1632). Sedang Imam Abu ‘Arubah meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muntaqa minat-Thabaqat (2/10/1).
[4] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/176), Ad-Darimi (1/126), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushon (2/47,153), Abu Amer Ad-Dani di dalam As-Sunanul Waridah fil-Fitan (Hadits-hadits tentang fitnah), Al-Hakim (3/422 dan 4/508) dan Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam Kitabul Ilmi (2/30). Abdul Ghani bahawa hadits itu hasan sanadnya. Sedangkan Imam Hakim menilainya sebagai hadits shahih. Penilaian Al-Hakim itu juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi.
[5] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (4/273). kami mendapatkan riwayat dari Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi, juga dari Dawud bin Ibrahim Al-Wasithi, Hubaib bin Salim, dan Nu’man bin Basyir yang mengisahkan, “Kami sedang duduk-duduk di masjid. Basyir adalah seorang yang sering menyembunyikan haditsnya. Lalu datanglah Abu Tsa’labah Al-Khasyafi dan bertanya: “Wahai Basyir bin Sa’id, apakah Engkau menghafal hadits Rasul tentang Umara’?” Tetapi Khudzaifahlah yang justru menjawab: “Saya menghafal khutbahnya.”"
Mendengar itu kemudian Abu Tsa’labah duduk, sementara Khudzaifahlah selanjutnya meriwayatkan hadits itu secara marfu’.
Hubaib mengomentari dengan bercerita: “Tak kala Umar bin Abdul Aziz mulai tampil dan saya mengetahui bahawa Yazid bin Nu’man bin Basyir menjadi pengikutnya, maka saya menulis surat kepadanya, berisikan tentang hadis ini. Saya memperingatkan dengan mengatakan kepadanya: Saya berharap agar beliau (Umar bin Abdul Aziz) benar-benar bisa menjadi Amirul Mu’minin setelah adanya raja yang gigih memperjuangkan agama sebelum dia naik takhta. Lalu surat saya itu disampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz. Dia merasa gembira dan mengaguminya.”
Melalui sanad Ahmad, hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hafidz Al-Iraqi di dalam Mahajjatul Ghurab ila Mahabbatul-Arab (2/17). Selanjutnya Al-Hafidz mengatakan:
“Status hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud Al-Wasithi dinilai tsiqah (baik akhlaknya dan kuat ingatannya) oleh Abu Dawud, Ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Sedangkan perawi-perawi yang lain bisa dibuat hujjah di dalam menetapkan hadits shahih.”
Yang dimaksudkan Al-Hafizh ini adalah yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim, tetapi mengenai Hubaib oleh Al-Bukhari dinilainya dengan “fihi nadharun” (ungkapan yang menunjukkan masih diragukannya keabsahan seorang perawi). Sedangkan Ibnu Addi mengatakan: Dalam matan hadits yang diriwayatkannya (Hubaib) tidak terdapat hadits mungkar (hadits yang ditolak), tetapi ia telah memutarbalik sanadnya (mudhtharib). Akan tetapi Abu Hatim, Abu Dawud dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Oleh kerana itu, setidak-tidaknya nilai haditsnya adalah hasan. Bahkan Al-Hafizh menilainya “La’ba sabihi” (lafazh ta’dil tingkat ke-empat). Perawi yang dinilai dengan lafazh pada tingkat ini haditsnya bisa dipakai, tetapi harus dilihat kesesuaiannya dengan perawi-perawi lain yang “dhabit” (kuat ingatannya), sebab lafazh itu tidak menunjukkan ke-dhabit-an seorang perawi (Penerj.).
Hadits yang senada (Asy-Syahid) disebutkan di dalam musnad karya Ath-Thayalisi (nombor: 438): “Saya diberi riwayat oleh Dawud Al-Wasithi -ia adalah orang yang tsiqah-, ia menceritakan: “Saya mendengar hadits itu dari Hubaib bin Salim. Tetapi dalam matan hadits tersebut ada yang tercecer matannya. Tapi kemudian ditutup (dilengkapi) dengan hadits dari Musnad Ahmad.”"
Al-Haitsami di dalam kitabnya Al-Majma’ (5/189) menjelaskan: “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sedangkan Al-Bazzar juga meriwayatkan, namun lebih sempurna lagi. Imam Ath-Thabarani juga meriwayatkan sebagian dalam kitabnya Al-Ausath dan perawi-perawinya adalah tsiqah.”
Dengan demikian menurut saya, kecil sekali kemungkinannya hadits tersebut diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz, sebab masa pemerintahannya adalah setelah masa Khulafaur-Rasyidin, yang jaraknya setelah dua masa pemerintahan dua orang raja.**
[6] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim (3/84), Imam Ahmad (2/703, 417), dan Imam Hakim (4/477), dari hadits Abu Hurairah.
[7] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al-Fitan, dari hadits Anas, secara marfu’.
*Perkataan Abdullah ini juga diriwayatkan oleh Abu Zur’ah di dalam bukunya Tarikhu Damsyiq (Sejarah Damaskus 1/96). Di situ juga ditunjukkan bahawa hadits tersebut juga ditulis pada masa Rasulullah saw.
**Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitabnya Al-Ausath yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal secara marfu’ adalah dhaif. Bunyinya adalah: “Tiga puluh kenabian dan satu orang raja, dan tiga puluh raja dan satu Jaburut (Raja bertangan besi) sedangkan setelah itu tidak ada kebaikan sama sekali”.
Silsilah Hadis Sahih, Buku 1 oleh Syeikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani, halaman 17-24