Hakikat Gunung THUR SINA
Manusia adalah makhluk Allah yang dikaruniakan Allah dengan satu kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kelebihan itu adalah kemampuan akal yang terdapat di kepala. Kepala manusia yang sangat ditinggikan oleh Allah telah diinformasikan dalam Al Qur’an dengan istilah simbolis “Gunung” atau “Thur sina”.
“Dia telah menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya dan Dia memberkahinya … “. (QS Fushshilat 41 : 10).
“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh, supaya bumi itu tidak goncang bersama mereka ….”. (QS Al Anbiya 21 : 31)
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu …..”. (QS An Nahl 16 : 15)
Istilah “gunung” dalam ayat tersebut mempunyai arti simbolis yaitu “kepala manusia”, sedangkan kata “bumi” mempunyai arti simbolis yaitu “Jasmani” manusia. Fungsi kepala bagi jasmani manusia adalah sebagai penyeimbang jasmani karena di dalam kepala manusia terdapat oragan tubuh yang sangat penting yaitu empat indera berserta alatnya dan segumpal otak yang terdiri dari bermilyar-milyar jaringan sel otak yang disebut Neuron, yang berfungsi sebagai pusat kesadaran, pusat ingatan, pusat keseimbangan tubuh dan masih sangat banyak lagi fungsi lainnya.
Kemampuan yang ada dalam otak dan kepala manusia, sangatlah penting yaitu sebagai alat untuk mengetahui segala sesuatu dengan daya nalar atau berfikir. Kekuatan daya fikir ini mempunyai energi psikis yang sangat besar, apabila dimanfaatkan secara maksimal. Kekuatan daya fikir ini sangat tergantung dengan berfungsinya tujuh lubang atau tujuh pintu yang ada di kepala manusia yaitu dua lubang telingan, dua lubang mata, dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Ketujuh lubang tersebut berfungsi sebagai pintu keluar masuknya rasa penginderaan yaitu penglihatan, pendengaran, pencium dan pengecapan. Secara simbolis ketujuh pintu atau lubang yang ada di kepala tersebut diberitahukan dalam Al Qur’an dengan istilah Tujuh Jalan Di Atas Kita. Hal ini tercantum dalam Firman-Nya :
“Dan sesungguhnya kami menciptakan di atas (kepala) kamu Tujuh Buah Jalan (keluar masuknya empat rasa) dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami tersebut”. (QS Al Mu’minun 23 : 17).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Tujuh Buah Jalan yang menjadi sarana keluar masuknya empat jenis rasa yaitu rasa penglihatan, rada pendengaran, rasa penciuman dan rasa pengecapan. Wujud dari ke empat rasa ini bersifat ghaib dan tidak akan berubah atau bertukar fungsinya karena Allah telah menjaganya dengan hokum-Nya atau Sunnatullah.
Ke empat jenis rasa tersebut hanya dapat dirasakan oleh rasa rohani manusia. Rasa rohani manusia tersebut dalam bahasa atau kamus tasawuf disebut sebagai rasa sejati. Rasa penginderaan dan rasa sejati tersebut tidak dapat diceritakan dengan kata-kata tetapi hanya dapat disimbolkan dalam bentuk bahasa lisan manusia, yang terwujud dalam bentuk rasa kelima yaitu rasa pengucapan yang berfungsi sebagai sarana untuk mengkomunikasikan rasa tersebut kepada orang lain. Tetapi ungkapan dari ucapan itupun jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.
Dalam kamu Wali Tanah Jawa, ke-empat rasa penginderaan tersebut disimbolkan dengan empat sahabat Rasulullah SAW, yaitu :
1. Abu Bakar disimbolkan sebagai penglihatan
2. Umar bin Khatab disimbolkan sebagai pendengaran
3. Usman bin Affan disimbolkan sebagai pencium
4. Ali bin Abi Thalib disimbolkan sebagai pengucapan
Sedangkan rasa rohani disimbolkan rasa sejati yang merupakan perwujudan dari rasa Allah. Rasa Allah ini oleh Wali Tanah Jawa sering disimbolkan dengan istilah Rasulullah.
Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk memegang Gunung Thur Sina atau kepada yang telah Allah tinggikan dan dianugerahkan-Nya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :
“Aku tinggikan atau angkat “Gunung Thursina” di atas kamu, peganglah erat-erat apa yang Aku berikan itu dan pelajarilah apa yang terdapat di dalamnya, agar engkau mengerti dan beriman kepada-Ku”. (QS Al Baqarah 2 : 63)
Berdasarkan ayat tersebut, kita diperintahkan untuk mempergunakan atau memanfaatkan seluruh potensi yang ada pada kepala kita yaitu potensi inderawi dan potensi akal untuk mempeljari semua pengetahuan lahiriah maupun pengetahuan batiniah sehingga pada akhirnya kita diharapkan agar beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
Ayat tersebut dapat juga ditafsirkan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk memegang teguh suri tauladan Rasulullah Saw dan empat sahabat dalam kehidupan lahir maupun batin.
Perintah untuk memegang gunung atau kepala dengan kuat, juga mempunyai arti bahwa, manusia harus dapat mempergunakan potensi yang ada di kepala yaitu akal dan panca indera, untuk beraktifitas dalam kehidupannya, terutama dalam kehidupan agamanya untuk mengenal rohaninya sekaligus mengenal Tuhannya.
Kemudian arti lain dari kalimat “memegang gunung” adalah manusia diharuskan untuk menutup “tujuh pintu hawa nafsu” yang terdapat di kepala yaitu :
2 lubang atau pintu mata
2 lubang atau pintu telinga
2 lubang atau pintu hidung
1 lubang atau pintu mulut
Cara menutup Tujuh Pintu tersebut, dengan mempergunakan “alat” yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia, sesuai firman Allah :
“Carilah Akhirat dengan “Alat” yang telah Kami anugerahkan kepadamu dan janganlah kamu lupakan kenikmatan dunia”. (QS Al Qashash 28 : 77)
“Tatkala aku berada disisi Rasulullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya : Adakah orang asing diantara kamu? “Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda : Angkat tangan kamu” (HR Al Hakim)
“Tutup pintumu dan ingatlah Allah ”. (HR Bukhari)
“Tutuplah semua pintu masjid ini kecuali pintu Abu Bakar”. (HR Bukhari)
Prosesi menutup tujuh pintu inderawi yang ada pada kepala manusia, inilah yang dinamakan dengan “Takbiratul Ihram”, (Takbir Larangan) yang mempunyai arti bahwa ketika kita mengangkat kedua telapak tangan kita saat mengawali shalat, kita diharamkan atau dilarang untuk melakukan aktifitas inderawi seperti mendengar, melihat mencium dan berbicara, karena kita sedang berhadapan dengan Allah Swt (bertawajuh). Hal ini sesuai dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajah-ku kepada Wajah-Nya yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”. (QS Al An’am 6 : 79)
Perintah untuk mengingat apa yang terdapat dalam Gunung atau kepala manusia, dapat diartikan bahwa manusia harus terus mengingat atau mengolah dan memgembangkan apa yang terdapat dalam kepala manusia berupa ilmu pengetahuan yang merupakan hasil dari kesatuan olah fikir, oleh dzikir dan olah raga.
Makna lainnya adalah bahwa setelah manusia telah berhasil menutup tujuh pintu hawa nafsunya atau melakukan gerakan “Takbiratul Ihram”, maka ia akan mengalami proses mati dalam hidup dan pada saat itulah indera rohaninya akan hidup dan menyaksikan “Cahaya Allah” yang tampak di dalam “gunung” atau kepalanya, sehingga gunung tersebut hancur lebur, dengan kata lain, bahwa ketika ketujuh pintu hawa nafsu tertutup, maka hawa nafsu secara berangsur-angsur menghilang, yang tinggal hanya jasmani dan pusat kesadaran yang terletak pada qalbu (otak). Kemudian ketika muncul “Cahaya Kilat” atau Nur Allah yang menyambar di dalam kepala dan terpantau oleh indera rohani, pusat kesadaran serta jasmani, maka semuanya itu menjadi hancur atau lenyap secara berangsur-angsur, yang tersisa hanyalah rasa sejati yang “Layu khayafu” dan “Laisa kamislihi syai’un”. Keadaan inilah yang disebut dengan “Mati Syahid” (Mati Saksi).
Peristiwa “Mati Syahid” hanya dapat tercapai ketika fungsi-fungsi inderawi telah mati dan saat kematian fungsi inderawi itulah kita menyaksikan Cahaya Allah yang tajalli dipusat mata batin kita, sehingga kita telah melupakan peristiwa yang terjadi disekitar kita, dan saat itulah terjadi penyerahan diri secara total kepada Allah.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata”.
Cahaya Allah yang disaksikan dan dirasakan pada waktu “Mati Syahid” akan terekam dalam pusat kesadaran rohaninya dan harus diingat sebanyak-banyaknya, baik ketika sedang berjalan, duduk maupun berbaring.
“Cahaya Allah itu ada dalam rumah yang Allah beri izin untuk memuliakan dan mengingat-Nya pada waktu pagi dan waktu petang”. (QS An Nuur 24 : 36)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapt tanda-tanda bagi golongan ulil albab, yaituorang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi(seraya berkata) : “ Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-si, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa An Nar”. (QS Ali Imran 3 190-191)
“ Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat gunung Thur Sina di atasmu (seraya Kami berfirman) : Peganglah dengan kuat apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya (Cahaya Allah) agar kamu bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 63)
Demikianlah arti simbolis dari ayat-ayat yang berkaitan dengan proses mati syahid untuk mendapatkan pengalaman menemui Tuhannya di Gunung Thur Sin Yang Bercahaya.
“Dia telah menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya dan Dia memberkahinya … “. (QS Fushshilat 41 : 10).
“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh, supaya bumi itu tidak goncang bersama mereka ….”. (QS Al Anbiya 21 : 31)
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu …..”. (QS An Nahl 16 : 15)
Istilah “gunung” dalam ayat tersebut mempunyai arti simbolis yaitu “kepala manusia”, sedangkan kata “bumi” mempunyai arti simbolis yaitu “Jasmani” manusia. Fungsi kepala bagi jasmani manusia adalah sebagai penyeimbang jasmani karena di dalam kepala manusia terdapat oragan tubuh yang sangat penting yaitu empat indera berserta alatnya dan segumpal otak yang terdiri dari bermilyar-milyar jaringan sel otak yang disebut Neuron, yang berfungsi sebagai pusat kesadaran, pusat ingatan, pusat keseimbangan tubuh dan masih sangat banyak lagi fungsi lainnya.
Kemampuan yang ada dalam otak dan kepala manusia, sangatlah penting yaitu sebagai alat untuk mengetahui segala sesuatu dengan daya nalar atau berfikir. Kekuatan daya fikir ini mempunyai energi psikis yang sangat besar, apabila dimanfaatkan secara maksimal. Kekuatan daya fikir ini sangat tergantung dengan berfungsinya tujuh lubang atau tujuh pintu yang ada di kepala manusia yaitu dua lubang telingan, dua lubang mata, dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Ketujuh lubang tersebut berfungsi sebagai pintu keluar masuknya rasa penginderaan yaitu penglihatan, pendengaran, pencium dan pengecapan. Secara simbolis ketujuh pintu atau lubang yang ada di kepala tersebut diberitahukan dalam Al Qur’an dengan istilah Tujuh Jalan Di Atas Kita. Hal ini tercantum dalam Firman-Nya :
“Dan sesungguhnya kami menciptakan di atas (kepala) kamu Tujuh Buah Jalan (keluar masuknya empat rasa) dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami tersebut”. (QS Al Mu’minun 23 : 17).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Tujuh Buah Jalan yang menjadi sarana keluar masuknya empat jenis rasa yaitu rasa penglihatan, rada pendengaran, rasa penciuman dan rasa pengecapan. Wujud dari ke empat rasa ini bersifat ghaib dan tidak akan berubah atau bertukar fungsinya karena Allah telah menjaganya dengan hokum-Nya atau Sunnatullah.
Ke empat jenis rasa tersebut hanya dapat dirasakan oleh rasa rohani manusia. Rasa rohani manusia tersebut dalam bahasa atau kamus tasawuf disebut sebagai rasa sejati. Rasa penginderaan dan rasa sejati tersebut tidak dapat diceritakan dengan kata-kata tetapi hanya dapat disimbolkan dalam bentuk bahasa lisan manusia, yang terwujud dalam bentuk rasa kelima yaitu rasa pengucapan yang berfungsi sebagai sarana untuk mengkomunikasikan rasa tersebut kepada orang lain. Tetapi ungkapan dari ucapan itupun jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.
Dalam kamu Wali Tanah Jawa, ke-empat rasa penginderaan tersebut disimbolkan dengan empat sahabat Rasulullah SAW, yaitu :
1. Abu Bakar disimbolkan sebagai penglihatan
2. Umar bin Khatab disimbolkan sebagai pendengaran
3. Usman bin Affan disimbolkan sebagai pencium
4. Ali bin Abi Thalib disimbolkan sebagai pengucapan
Sedangkan rasa rohani disimbolkan rasa sejati yang merupakan perwujudan dari rasa Allah. Rasa Allah ini oleh Wali Tanah Jawa sering disimbolkan dengan istilah Rasulullah.
Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk memegang Gunung Thur Sina atau kepada yang telah Allah tinggikan dan dianugerahkan-Nya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :
“Aku tinggikan atau angkat “Gunung Thursina” di atas kamu, peganglah erat-erat apa yang Aku berikan itu dan pelajarilah apa yang terdapat di dalamnya, agar engkau mengerti dan beriman kepada-Ku”. (QS Al Baqarah 2 : 63)
Berdasarkan ayat tersebut, kita diperintahkan untuk mempergunakan atau memanfaatkan seluruh potensi yang ada pada kepala kita yaitu potensi inderawi dan potensi akal untuk mempeljari semua pengetahuan lahiriah maupun pengetahuan batiniah sehingga pada akhirnya kita diharapkan agar beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
Ayat tersebut dapat juga ditafsirkan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk memegang teguh suri tauladan Rasulullah Saw dan empat sahabat dalam kehidupan lahir maupun batin.
Perintah untuk memegang gunung atau kepala dengan kuat, juga mempunyai arti bahwa, manusia harus dapat mempergunakan potensi yang ada di kepala yaitu akal dan panca indera, untuk beraktifitas dalam kehidupannya, terutama dalam kehidupan agamanya untuk mengenal rohaninya sekaligus mengenal Tuhannya.
Kemudian arti lain dari kalimat “memegang gunung” adalah manusia diharuskan untuk menutup “tujuh pintu hawa nafsu” yang terdapat di kepala yaitu :
2 lubang atau pintu mata
2 lubang atau pintu telinga
2 lubang atau pintu hidung
1 lubang atau pintu mulut
Cara menutup Tujuh Pintu tersebut, dengan mempergunakan “alat” yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia, sesuai firman Allah :
“Carilah Akhirat dengan “Alat” yang telah Kami anugerahkan kepadamu dan janganlah kamu lupakan kenikmatan dunia”. (QS Al Qashash 28 : 77)
“Tatkala aku berada disisi Rasulullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya : Adakah orang asing diantara kamu? “Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda : Angkat tangan kamu” (HR Al Hakim)
“Tutup pintumu dan ingatlah Allah ”. (HR Bukhari)
“Tutuplah semua pintu masjid ini kecuali pintu Abu Bakar”. (HR Bukhari)
Prosesi menutup tujuh pintu inderawi yang ada pada kepala manusia, inilah yang dinamakan dengan “Takbiratul Ihram”, (Takbir Larangan) yang mempunyai arti bahwa ketika kita mengangkat kedua telapak tangan kita saat mengawali shalat, kita diharamkan atau dilarang untuk melakukan aktifitas inderawi seperti mendengar, melihat mencium dan berbicara, karena kita sedang berhadapan dengan Allah Swt (bertawajuh). Hal ini sesuai dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajah-ku kepada Wajah-Nya yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”. (QS Al An’am 6 : 79)
Perintah untuk mengingat apa yang terdapat dalam Gunung atau kepala manusia, dapat diartikan bahwa manusia harus terus mengingat atau mengolah dan memgembangkan apa yang terdapat dalam kepala manusia berupa ilmu pengetahuan yang merupakan hasil dari kesatuan olah fikir, oleh dzikir dan olah raga.
Makna lainnya adalah bahwa setelah manusia telah berhasil menutup tujuh pintu hawa nafsunya atau melakukan gerakan “Takbiratul Ihram”, maka ia akan mengalami proses mati dalam hidup dan pada saat itulah indera rohaninya akan hidup dan menyaksikan “Cahaya Allah” yang tampak di dalam “gunung” atau kepalanya, sehingga gunung tersebut hancur lebur, dengan kata lain, bahwa ketika ketujuh pintu hawa nafsu tertutup, maka hawa nafsu secara berangsur-angsur menghilang, yang tinggal hanya jasmani dan pusat kesadaran yang terletak pada qalbu (otak). Kemudian ketika muncul “Cahaya Kilat” atau Nur Allah yang menyambar di dalam kepala dan terpantau oleh indera rohani, pusat kesadaran serta jasmani, maka semuanya itu menjadi hancur atau lenyap secara berangsur-angsur, yang tersisa hanyalah rasa sejati yang “Layu khayafu” dan “Laisa kamislihi syai’un”. Keadaan inilah yang disebut dengan “Mati Syahid” (Mati Saksi).
Peristiwa “Mati Syahid” hanya dapat tercapai ketika fungsi-fungsi inderawi telah mati dan saat kematian fungsi inderawi itulah kita menyaksikan Cahaya Allah yang tajalli dipusat mata batin kita, sehingga kita telah melupakan peristiwa yang terjadi disekitar kita, dan saat itulah terjadi penyerahan diri secara total kepada Allah.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata”.
Cahaya Allah yang disaksikan dan dirasakan pada waktu “Mati Syahid” akan terekam dalam pusat kesadaran rohaninya dan harus diingat sebanyak-banyaknya, baik ketika sedang berjalan, duduk maupun berbaring.
“Cahaya Allah itu ada dalam rumah yang Allah beri izin untuk memuliakan dan mengingat-Nya pada waktu pagi dan waktu petang”. (QS An Nuur 24 : 36)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapt tanda-tanda bagi golongan ulil albab, yaituorang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi(seraya berkata) : “ Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-si, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa An Nar”. (QS Ali Imran 3 190-191)
“ Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat gunung Thur Sina di atasmu (seraya Kami berfirman) : Peganglah dengan kuat apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya (Cahaya Allah) agar kamu bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 63)
Demikianlah arti simbolis dari ayat-ayat yang berkaitan dengan proses mati syahid untuk mendapatkan pengalaman menemui Tuhannya di Gunung Thur Sin Yang Bercahaya.