"Angkatlah tanganmu dan Tutuplah Pintumu". (HR. Al Hakim dari Ya'la bin Syidad).
Inti dari prosesi Dzikir itu sebenarnya adalah memfokuskan atau menyatukan kesadaran kepada sesuatu. Mendengarkan kuliah itu sebenarnya adalah Dzikir. Membaca buku itu juga Dzikir. Bicara dan menulis juga bagian dari Dzikir. Jadi semua kegiatan yang membutuhkan konsentrasi penuh adalah Dzikir. Dari sekian banyak aktivitas Dzikir itu, yang paling tertinggi tentunya adalah Dzikir kepada Allah (Dzikrullah). Bagaimana supaya kita bisa berdzikrulah dengan benar ? Cara yang paling mudah adalah dengan mengetahui rahasia amtsal/seloka tentang Satria Piningit. Secara hakekat, arti per sub kata dari istilah Satrio Piningit adalah : Sat= 6, Tri =3, Piningit = menyembunyikan. Jadi Secara hakekat, Satrio Piningit itu adalah usaha untuk memfokuskan atau menyatukan kesadaran diri di Pintu Kesepuluh dengan cara menutup Babahan Howo Songo.
Dengan cara membaca dari belakang seperti sandi asmo, (Sat = 6, Tri = 3, Piningit = menutup), maka Satrio Piningit mempunyai arti MENUTUP 9 pintu/lubang = 2 hidung, 2 telinga, 2 mata, 2 lubang di bawah, lubang mulut, ini sebenarnya adalah Prosesi Dzikir Khatami (Dzikir Menutup) yang memfokuskan kesadaran di Lubang ke Sepuluh/Tisra Til/Tenth Door/Netra Shiva/Mata Dewa/'Ainul Bashiroh, dengan tujuan menjadi "Satrio Piningit" yang membuka 'Ainul Bashiroh.
Dalam khasanah Jawa, kalimat di atas sangat akrab diucapkan orang-orang tua. “Kalau kepingin menjadi manusia yang berbudi luhur, harus bisa Njogo Babahan Howo Songo.” Apa yang dimaksud dengan Lubang Hawa Sembilan itu? Itulah jalan keburukan yang ada pada diri kita. Jalan itu berjumlah sembilan.
Lubang yang ada pada tubuh kita yaitu; dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, satu mulut, lubang kelamin dan lubang dubur. Itu adalah lubang jalannya hawa pada tubuh kita. Dari lubang-lubang tersebut kita sering berbuat aniaya terhadap diri sendiri. Jika kita terlalu memanjakan sembilan lubang tadi, kita akan jauh dari budi luhur. Menjadi manusia yang buruk perangainya.
Di Jawa dan Sunda dikenal dengan "Babakan Hawa Sanga" kesembilan lubang ini dilatih justru untuk tidak sembarangan mengumbar/melepaskan hawa nafsu. Implementasinya, keluarnya tentu baik karena mengajarkan budi pekerti dan laku untuk menjaga mulut, mata, telinga, hidung, kemaluan dan anus untuk tidak menyebabkan keburukan bagi si manusia. Pusat pengendaliannya tentu tidak hanya bersifat fisik tetapi juga kepada yang bersifat batiniah