Aurat kerap ditautkan dengan tubuh perempuan; ada sisi pribadi yang harus ditutupi, karena dipandang bakal mengundang syahwat dan fitnah. Apa sebenarnya aurat dan fitnah itu? Dan mana batasan yang mesti ditutupi ? Dan kenapa ?
Aurat kerap dikaitkan dengan fitnah. Perempuan acap dipandang memiliki daya tarik seksual dan daya goda. Sehingga, perempuan dilukiskan sebagai aurat yang karena satu dan lain hal harus disembunyikan. Pakaian saja tidak cukup untuk menutupi aurat perempuan.
Menutup Aurat |
Sebagai contoh, diceritakan bahwa ‘Abd Allah ibn Umar menceritakan bahwa nabi pernah bersabda, “perempuan adalah aurat sehingga jika ia pergi keluar, setan akan menjadikannya sebagai sumber godaan.” Riwayat lain, menyebutkan, ” perempuan adalah perangkap setan, andaikata tidak terdapat syahwat niscaya wanita tidak akan dapat mengusai laki-laki.”
Namun, kedua hadis itu, dalam telaah Kitab ‘Uqud al- Lujjayn, dinyatakan hadis dhaif, lemah. Dan, menurut Khaled Abou al Fadl, hadis-hadis tersebut terkait dengan lingkungan pergaulan historis saat itu, dimana perempuan dianggap sebagai sumber bahaya.
Padahal, kalau mau jujur, persoalan fitnah dan sumber godaan itu bersifat empiris. Artinya, apa yang merangsang secara seksual, bagaimana, kapan, dan dimana itu terjadi, adalah pertanyaan yang bisa diukur dalam kenyataan. Benarkah rambut perempuan yang terurai itu akan menimbulkan daya seksual sehingga harus ditutupi? Ataukah sebaliknya, bagaimana bila ada kelompok tertentu justru terpikat dengan perempuan berkerudung, bukankah dengan begitu, ia harus melepaskan kerudunganya demi menghindari fitnah.
Nah, jika alasan utama jilbab karena fitnah, barangkali solusi bagi contoh pertama wajib berkerudung dan solusi yang kedua adalah membuka kerudung. Jadi, fitnah adalah persoalan tambahan. Aurat harus ditutup, mungkin, karena ada perintah yang tegas dan tersendiri tentang aurat, bukan semata karena aurat menyebabkan fitnah.
Lalu, apa itu aurat? Secara harfiah, aurat berarti celah, kekurangan, sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan yang membuat malu bila dipandang. Dalam Quran, kata aurat disebut empat kali, dua dalam bentuk tunggal, dan dua kali dalam bentuk jamak. Bentuk tunggal disebut dalam surat Al-Ahzab (33;13), dan bentuk jamak disebut dalam surat an-Nur (24;31 dan 58).
Kata aurat dalam surat Al-Ahzab (33;13) diartikan oleh mayoritas ulama tafsir dengan celah yang terbuka terhadap musuh, atau celah yang memungkinkan orang lain (musuh) mengambil kesempatan untuk menyerang. Sedangkan aurat dalam surat an-Nur (24;31 dan 58) diartikan sesuatu dari anggota tubuh manusia yang membuat malu bila dipandang. Nah, kata aurat yang sering diperbincangkanadalah arti aurat dalam surat an-Nur ini; bagian pribadi dari tubuh seseorang yang harus ditutupi.
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَايُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَالْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَي جُيُوْبِهِنَّ ( النور : 31 )
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tanpak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Q.s an-Nur 24;31)
Persoalannya, bagian tubuh mana yang dianggap aurat itu? Dalam batasan aurat ini pun, pandangan kalangan ulama tidak ada yang tunggal dan seragam melainkan fleksibel dan beragam. Mazhab-mazhab pemikiran hukum terkemuka menegaskan bahwa aurat laki-laki adalah antara lutut hingga pusar.Tetapi, minoritas pendapat menyebutkan bahwa aurat laki-laki hanyalah pangkal paha dan pantat. Paha sendiri tidak termasuk aurat. Aurat perempuan malah lebih komplek.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa batas aurat perempuan budak atau pelayan perempuan berbeda dengan aurat perempuan merdeka. Aurat perempuan merdeka adalah seluruh anggota tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Sementara perempuan budak tidak diwajibkan menutupi rambut, lengan dan betis mereka. Karena, menurut beberapa fukaha, aurat budak itu sama dengan aurat laki-laki, antara lutut hingga pusar, dan ada juga mengatakan antara dada dan lutut. Bahkan, Umar ibn al-Khathtab pernah melarang para budak perempuan meniru perempuan-perempuan merdeka dengan menutupi rambut mereka. Al-Marghinani berkata dalam kitab Al-Hidayah:
وما كان عورة من الرجل فهو عورة من الأمة وبطنها وظهرها عورة وما سوى ذلك من بدنها ليس بعورة لقول عمر رضي الله عنه: ألق عنك الخمار يادقار أتتشبهين بالحرائر؟ ولأنها تخرج لحاجة مولاها في ثياب مهنتها عادة فاعتبر حالها بدوات المحارم في حق جميع الرجال دفعا للحرج ( الحديث )
“Yang menjadi batas aurat lelaki adalah juga menjadi batas aurat perempuan hamba, perut, dan pungungnya adalah aurat, selain itu dari seluruh tubuhnya adalah bukan aurat, karena kata Umar; Lepaskan tutup kepalamu wahai Daffar (nama seorang perempuan hamba),apakah kamu ingin menyerupai perempuan merdeka? Juga karena biasanya dia keluar untuk keperluan tuannya dengan pakian kerjanya, maka (dalam hal aurat) dia dianggap keluarga sedarah (mahram) bagi semua lelaki, untuk menghindari kesulitan.”
Mengapa ada perbedaan pendapat dalam batasan aurat perempuan? Perdebatan pendapat itu muncul karena ada perbedaan dalam menafsirkan kata illa ma zhahara minha (kecuali yang biasa tampak) dalam Q.s an-Nur;31,” perempuan dianjurkan untuk tidak membuka ziina,(perhiasan, aurat) kecuali yang memang biasa terbuka.
Dan perdebatan itu bermula ketika para fukaha membahas bagian tubuh mana yang harus ditutupi oleh laki-laki dan perempuan ketika shalat. Sehingga, mungkin saja apa yang dianggap sebagai aurat ketika shalat juga menjadi aurat di luar shalat. Artinya, sesuatu yang harus ditutupi dalam shalat juta harus ditutupi ketika di luar shalat.
Namun, dari beragam pandangan batasan aurat tersebut ada yang perlu dicermati. Jika menutup aurat itu untuk menangkis godaan seksual, mengapa batasan aurat budak itu disamakan dengan laki-laki, bukankah pelayan atau budak perempuan itu juga memiliki potensi yang sama dalam hal memicu birahi? Lalu, apa sebenarnya motif utama membeda-bedakan batas aurat perempuan merdeka dan budak?
Pembatasan dan pengecualian dalam pandangan para fukaha itu merujuk pada ada istiadat, karakter, dan kebutuhan. Seperti yang diungkapkan ulama kontemporer Muhammad Ali-ash-Shabuni,”Perempuan hamba sebagai perempuan pekerja banyak yang keluar rumah dan pulang pergi ke pasar untuk melayani dan memenuhi segala keperluan tuanya; apabila diperintahkan untuk berpakaian serba tertutup ketika keluar adalah sesuatu hal yang merepotkan dan memberatkan, lan halnya dengan perempuan merdeka yang memang diperintahkan untuk tetap bertada di dalam rumah dan tidak keluar kecuali karena keperluan, mendesak, maka ia tidak ada kerepotan atau keberatan seperti yang dialami oleh perempuan hamba.”
Dengan alasan itu, kata Khaled Abau El-fadl, perempuan-perempuan budak tidak perlu menutupi rambut, wajah, dan lengan, karena mereka menjalani suatu kehidupan ekonomi yang aktif yang menuntut mobilitas tinggi, dan karena biasanya budak-budak tidak biasa menutupi bagian-bagian tubuh tersebut. Itu berarti, batasan aurat bukan ditentukan oleh teks-teks agama melainkan ditentukan oleh sosial budaya yang sangat relatif, tergantung pada peran dan fungsi sosial.
Nah, mengingat perempuan masa kini juga sarat dengan aktivitas yang tak hanya berkutat dalam rumah tangga tapi juga merambah dunia kerja (publik), maka batas-batas aurat yang telah dimapankan dalam teks hukum Islam, patut ditelah ulang. Dengan kata lain, batasan-batasan aurat bagi perempuan mesti disesuaikan dengan fungsi sosialnya yang kini sudah berubah. Tentu saja, pembatasan tersebut tidak melanggar pada nilai dan batas kesopanan yang lazim pada masyarakat tertentu.
Celah Pintu itu harus dijaga.
Digunakan sebagaimana mestinya.
Sesuai dengan tuntunan-Nya.
Jangan biarkan celah pintu itu terus terbuka.
Tanpa lupa menutupnya.
Bila celah pintu itu terus terbuka.
Akan selalu terlihat dunia.
Yang penuh canda dan tawa.
Juga nestapa.
Oh dunia.
Engkau hanya panggung sandiwara.
Yang hanya sementara.
Bila celah pintu itu terus terbuka.
Niscaya hawa nafsu setan akan terus masuk.
Melalui celah pintu yang di telinga.
Melalui celah pintu yang di mata.
Melalui celah pintu yang di hidung.
Melalui celah pintu yang di mulut.
Dan hawa nafsu setan itu akan membelenggu.
Hingga manusia lupa.
Dan mengkhianati perjanjian dengan Tuhannya.
Yang akan membawa malapetaka.
Di dunia dan di akherat nanti.
Karena itu.
Jangan biarkan celah pintu itu terbuka.
Tanpa lupa menutupnya.
Supaya pencuri tidak leluasa masuk ke rumah.
Yang akan menyekap dan mengganggu si penghuni.
Sedemikan rupa.
Sehingga lupa segalanya.
Khususnya kepada Tuhannya.