Selamat Berhijrah dari Zhulmani Menuju ke Nurani

Hakekat Hijrah Sosial dan Spiritual*

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa historis yang sangat bermakna bagi umat Islam. Hijrah menandai babak baru sekaligus titik balik perjuangan iman menuju terwujudnya peradaban Islam yang bervisi rahmatan lil 'alamin. Berdasarkan peristiwa hijrah, Umar bin al-Khattab menetapkan kalender Islam yang berlaku hingga kini, yaitu kalender hijriyah.

Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan, berpindah atau bermigrasi secara fisik maupun nonfisik. Berpindah menunjukkan adanya dinamika, transformasi, dan perubahan. Manusia memang ditakdirkan Allah SWT menjadi makhluk yang harus berhijrah karena perbaikan kualitas hidup menuntut transformasi mental spiritual, yaitu menghijrahkan hati dan pikiran, dari hati dan pikiran (mindset) jahiliyah (kebiadaban, kesewenang-wenangan, kezaliman, dan kebobrokan moral) menuju hati dan pikiran yang diterangi cahaya iman, Islam, ihsan, dan ilmu sehingga membuahkan amal saleh, amal kemanusiaan yang memberi nilai tambah bagi peningkatan kualitas kehidupan.

Di antara ayat Alquran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi SAW pada masa awal kenabiannya adalah perintah hijrah dari perbuatan dosa. "Dan hendaklah engkau hijrah (tinggalkan) dosa besar." (QS al-Mudatstsir [74]: 5).

Meninggalkan dosa merupakan pangkal hijrah mental spiritual karena jika dosa sudah ditinggalkan berarti hati dan pikirannya akan senantiasa didasari akidah (tauhid) yang benar, dipandu oleh syariah yang jelas, dan dihiasi akhlak mulia. Jika dosa-dosa sudah dihijrahi, perubahan menuju kebenaran, kebaikan, kemuliaan, dan kemasalahatan akan menjadi orientasi kehidupan.

Pada malam hijrah ke Madinah, Abu Jahal dan komplotannya telah merencanakan menangkap hidup-hidup atau membunuh Muhammad. Berdasarkan hasil "permufakan jahat" di Darun Nadwah--tempat berkumpulnya para petinggi Quraisy, di dekat pintu Darun Nadwah Masjidil Haram sekarang--Abu Jahal mengerahkan ratusan pasukan pemburu dan penyergap untuk mengepung rumah Nabi SAW. Rencana jahat itu disampaikan malaikat Jibril AS kepada Nabi SAW agar pada malam hijrah itu Ali bin Abi Thalib RA menempati tempat tidur Nabi SAW dan beliau diizinkan untuk berhijrah.

Kata Nabi kepada Ali, "Tidurlah di atas ranjangku, dan berselimutlah dengan selimutku yang berwarna hijau ini!" Pada saat itu, Allah juga menurunkan ayat kepada Nabi SAW. (QS al-Anfal [8]:30).

Ketika menerima ayat ini, Nabi SAW sama sekali tidak panik. Di saat itu, Allah menurunkan mukjizat-Nya. Semua pasukan penyerbu itu tertidur lelap sehingga tidak mengetahui keluarnya Nabi SAW. (QS Yasin [36]: 9).

Beliau meninggalkan kota kelahirannya (Makkah) menuju Yatsrib (Madinah) dengan transit tiga hari di dalam Gua Tsur, sekitar tujuh kilometer arah selatan Makkah, padahal Madinah itu berlokasi di utara Makkah. Ini salah satu bentuk kecerdasan strategis Nabi SAW dalam membaca pergerakan lawan dan memenangi "pertarungan taktis".

Dengan transit beliau dapat melakukan apa yang dalam bahasa militer disebut "operasi intelijen". Melalui Asma' binti Abu Bakar dan Abdullah bin Abu Bakar, beliau mendapat informasi pergerakan musuh, sekaligus pasokan logistik karena perjalanan yang akan ditempuh menuju Madinah masih jauh, sekitar 454 kilometer dari Makkah, sementara alat transportasi hanyalah unta dan kuda atau berjalan kaki.

Nabi SAW berhijrah tidak untuk melarikan diri, tetapi menyelamatkan visi dan misi Islam sebagai rahmat untuk semua. Pesan moral hijrah adalah penguatan mental spiritual dengan memurnikan tauhid kepada Allah. Selama prosesi hijrah, Nabi SAW menampilkan figur teladan dalam mengawal dan menyelamatkan visi dan misi suci Islam dengan penuh amanah dan kecerdasan intelektual, emosional, ataupun spiritual.

Sejumlah gagasan besar dan langkah strategis diambil Nabi SAW begitu sampai di Yatsrib. Pertama, mendirikan masjid Quba' dan Masjid Nabawi. Masjid bukan sekadar tempat ibadah dan dakwah, melainkan juga dioptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan, pusat konsolidasi, spiritualisasi, pemersatuan umat (kaum Muhajirin dan Anshar), dan pembangunan peradaban kemanusiaan.

Bahkan di saat peperangan, masjid juga sebagai latihan bela diri dan militer, perencanaan strategi perang, perawatan korban luka, dan penyiapan logistik. Trilogi integrasi masjid, pasar (baca: pusat-pusat ekonomi dan perdagangan), dan istana (baca: pusat kekuasaan) yang mewarnai dunia Islam, seperti Masjidil Haram, istana raja, pusat-pusat perekomian dan perdagangan di sekitarnya, Blue Mosque, Grand Bazar, dan Istana Ottoman di Turki, Masjid, Keraton, Alun-alun dan Malioboro di Yogyakarta, merupakan aktualisasi fungsi multidimensi masjid.

Kedua, deklarasi rekonsiliasi dua suku besar Madinah yang selama ini terlibat konflik sosial berkepanjangan, yaitu suku Aus dan Khazraj. Nabi tidak hanya berhasil mendamaikan dua kubu, juga sukses mempersaudarakan mereka dengan kaum muhajirin (para sahabat Nabi yang berhijrah dari Makkah).

Nabi SAW juga menggalang persatuan dan persaudaraan umat beragama dengan menyiapkan Piagam Madinah yang berisi perjanjian hidup bersama secara damai, rukun, dan saling menghargai perbedaan agama antara umat Islam dan non-Muslim, seperti Yahudi dan Nashrani (Kristen). Piagam Madinah ini merupakan dokumen kontrak sosial politik dan kemanusiaan pertama yang luar biasa berharga bagi masa depan umat manusia.

Ketiga, penegakan supremasi hukum yang benar dan adil melalui pemerintahan yang amanah, bersih, berwibawa, adil, sejahtera, dan bermartabat. Hukum ditegakkan, tidak membela yang bayar, tetapi membela yang benar. Nabi SAW menegaskan, "Seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku sendirilah yang akan memotong tangannya!" Penegakan hukum oleh Nabi SAW terbukti memberikan rasa aman, kepastian, dan keadilan hukum bagi semua, tanpa diskriminasi dan kriminalisasi.

Keempat, perubahan nama kota dari Yatsrib menjadi al-Madinah al-Munawwarah (kota berperadaban yang tercerahkan). Perubahan nama ini mengindikasikan hijrah Nabi itu hakikatnya hijrah pencerahan dan pemajuan umat manusia. Sebagai pemimpin umat, Nabi SAW memberi nama baru, tentu dengan maksud memberi harapan baru dan masa depan peradaban kemanusiaan yang berkemajuan.


Seperti yang sudah diuraikan diatas, dari sejarah Hijrahnya Nabi Saw itulah para sahabat pada jaman Khalifah Umar bin Khatab sepakat menetapkannya sebagai tonggak awal Kalender penanggalan Hijriyah Islam. Yang selanjutnya selalu diperingati setiap pergantian tahun baru Hijtiyah. Di antara hikmah Allah mengantarkan kita pada pergantian tahun adalah agar hati serta pikiran kita terbuka, agar kesadaran jiwa kita tersentak, bahwa ada batas waktu pendek yang tersedia di hadapan kita. Sangat boleh jadi kita tidak sempat mencapai tujuan hidup seperti yang kita inginkan, karena waktu pendek itu tidak kita gunakan dengan baik untuk liqa' menuju Allah, padahal Allah swt. telah menyeru kita dengan fiman-Nya melalui lisan Rasul-Nya, Muhammad saw :

“Maka segeralah kembali kepada Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz Dzariyat : 50)

Perintah berhijrah adalah suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah Swt bagi setiap hamba-Nya yang ingin tetap istiqomah di Jalan-Nya. Kata hijrah berasal dari kata hajaruhu, yahjaruhu, hijran yang artinya, meninggalkan, memutuskan, memindahkan atau keluar. Secara harfiyah pengertian hijrah adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Tetapi hijrah secara hakekat bukanlah berpindahnya tempat tinggal seseorang ke tempat tinggal yang baru. Dan juga bukan berarti perpindahan tempat seorang pegawai dari satu tempat ke tempat yang baru. Juga bukan berarti perpindahan para transmigran ke tempat yang baru dan bukan pula perpindahan seorang petani dari daerah gersang ke daerah subur.

“Tidak ada hijrah setelah Futuh Mekah, yang ada adalah hijrah dengan Jihad dan Niat” (HR Bukhari)

Hijrah bagi orang beriman (ma’rifat) adalah suatu proses perpindahan kesadaran dari alam jasmani ke alam ruhani. Hijrah juga merupakan suatu proses untuk meninggalkan berbagai hal yang tidak ada manfaatnya, yaitu meninggalkan berbagai dosa (kegelapan rohani), meninggalkan kesalahan dan kemalasan diri sendiri, menuju ketaatan, kedisiplinan serta kemauan yang kuat untuk tetap istiqomah di Jalan Allah. Hijrah juga bermakna pindah dari kegelapan ruhani ke alam pencerahan ruhani (Minadzdzulumai ila An Nur). Hijrah juga berarti proses perpindahan tahapan keyakinan yang berkesinambungan seorang pencari Tuhan dari Wajibul Yaqin ke Ilmul Yaqin, terus ke ‘Ainul Yaqin dan Haqul Yaqin, dan akhirnya sampai ke Isbatul Yaqin.

“Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa yang keluar dari rumahnya (jasad) dengan maksud berhijrah menuju (liqa') Allah dan Rasul-Nya, kemudian (mengalami) mati (dalam hidup) , maka ganjarannya adalah (liqa') Allah” (QS 4 : 100)

“Hijrah yang paling sempurna adalah jihad” (HR Ahmad)

“Seorang Muhajir adalah siapa saja yang meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah” (HR Bukhari)

Hijrah wajib bagi orang-orang yang tertindas di negerinya sendiri (Makah=Bakkah). Al Qur’an menyebut Makkah dengan “Al Bakkah” berasal dari kata “Tabbak” yang artinya berjubel, memotong leher, tempat untuk menangis, taubat, shalat, haji, tempat yang diberkahi atau disucikan) sesuai dengan firman Allah :

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula di bangun(tempat peribadatan) manusia adalah Bait Allah (Baitullah) yang terletak di Bakkah yang diberkahi dan diberi petunjuk bagi manusia” (Ali Imran 3 : 96)

“Baitullah berada di Qalbu orang mukmin” (Hadits Qudsi)

“Sesungguhnya langit dan bumi tidak berdaya menampung-Ku, namun Aku telah ditampung oleh Qalbu seorang mukmin” (HR Ahmad)

Dari pengertian ini, negeri yang sering terjajah adalah negeri qalbu atau ruhani, sehingga mengalami kesempitan dan kegelapan. Bagi mereka yang mengalami ketertindasan seperti ini, wajib berhijrah dengan jihad akbar sehingga diperoleh keluasan dan kelapangan ruhani.

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (zhalim, jahil, kufur, nifaq = kegelapan) kepada mereka malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?”. Mereka menjawab : “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri Makkah”. Para malaikat berkata : “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalau kamu dapat berhijrah di bumi itu ?”.Orang-orang itu tempatnya di neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali”.(QS An Nisaa 4 : 97)

Syarat berhijrah harus dengan mengimunisasi hawa nafsu, menambatkan unta yang disimbolkan dengan “membunuh diri” sehingga dapat keluar dari kampung jasmani menuju kampung ruhani (dari kampung tanah tumpah darah, menuju kampung Cahaya Suci dan Kesucian = Hadirat Qudsiah). Hal ini sedikit yang mau dan mampu (ingat piramid kemakrifatan) bahwa yang sampai dan mampu hanya mereka yang mempunyai niat dan tekad yang sangat kuat dalam berjihad sehingga karunia Allah diperolehnya.

“Dan sesungguhnya apabila Kami perintahkan kepada mereka : “Bunuhlah dirimu dan keluarlah dari kampungmu” Niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka” (QS An Nisaa 4 : 66)

Sehingga bagi mereka yang berkenan memperoleh hasil dari berhijrah itu, mampu berkata : “Inilah Jalan (agama=Cahaya)-Ku.

“Katakanlah : “inilah Jalan-Ku. Aku dan orang-orang yang mengikuti aku mengajak manusia beriman (bermakrifat) kepada Allah dengan Hujjah (bukti) yang terang (bukan iman-imanan). Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang yang mempersekutukan Allah”. (QS Yusuf 12 : 108)

Bagi mereka ini telah berdiri di ‘Aqabah pertama yaitu mampu meyakini dengan keyakinan yang Isbatul Yaqin, bukan yakin-yakinan atau iman-imanan. Dan dikategorikan dalam ayat-ayat Madinah sebagai orang-orang yang ”beriman atau bermakrifat” kepada Allah dan terhindar dari perilaku dan perbuatan syirik, baik syirik samar atau khafi maupun syirik yang nyata atau jali.

Syeikh Jalaluddn Ar Rumi mengatakan : "Apabila engkau ikut serta dalam barisan mereka yang mengadakan pendakian. Ketiadaan akan membawamu ke atas bagaikan Buroq. Itu bukanlah seperti naiknya makhluk hidup ke bulan, bukan, melainkan seperti naiknya pohon tebu ke gula. Itu bukanlah seperti naiknya asap ke langit, bukan itu, melainkan seperti naiknya embrio ke realitas".

Perjalanan menuju Allah adalah sebuah aktivitas peralihan atau perpindahan yang terus-menerus. Syaikh Ibnu 'Atha`illah rahimahullah menyebutnya dengan kata "hijrah", yang artinya "perpindahan dari apa pun selain Allah, menuju kepada Allah swt.; peralihan dari apa saja yang tidak diridai Allah kepada yang diridai-Nya; perubahan dari segala yang mengundang murka Allah kepada yang dicintai-Nya".

Di dalam kitab Al-Hikam, beliau mengutip perkataan seorang salih bernama Ibnu 'Ibad. Ibnu 'Ibad berkata, "Seorang hamba yang lari dari Allah menuju syahwatnya dan menuruti hawa nafsunya disebabkan oleh kebutaan hatinya dan kebodohannya terhadap Rabb-nya, (pada hakikatnya) telah mengganti sesuatu yang baik dengan yang buruk. Ia telah menukar yang abadi dengan yang fana. Padahal, dirinya tidak mungkin lepas darinya."

Ibnu 'Atha'illah lantas mengatakan : "Sungguh mengherankan orang yang lari dari Dzat yang ia tidak dapat berpisah dengan-Nya, lantas mencari sesuatu yang ia tidak menjadi kekal bersamanya, karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada".

Ibnu Qayyim al- Jawziyyah juga pernah mengatakan : "Jika ada seorang hamba yang lari kepada Allah, pada hakikatnya dia telah lari dari sesuatu menuju kepada sesuatu yang keberadaannya atas kehendak dan takdir Allah Ta'ala. Jadi, sebenarnya sama saja, ia lari dari Allah menuju kepada Allah (firar min Allah ila Allah)". Itulah makna sabda Rasulullah saw :

"Aku memohon perlindungan dengan-Mu dari-Mu."

Begitu pula sabda beliau yang lain :

"Tidak ada tempat kembali dan tempat menyelamatkan diri dari-Mu kecuali kepada-Mu."

Apabila jiwa manusia dapat memahami makna hijrah spiritual ini, di dalam hatinya pun tidak ada ketergantungan lagi kepada selain Allah. Dia tidak akan pernah lagi merasa takut (khawf), berharap (raja`) maupun mencintai sesuatu (mahabbah) selain Allah. Hal itu berarti secara tidak langsung, ia telah mengesakan Allah dalam khawf, raja`, dan mahabbah-nya. Dari pancainderanya, akan memancari ihsan atau kebajikan. Tutur katanya baik, sehingga orang lain akan selamat dari umpatan, makian, serta fitnahnya yang menyakitkan hati. Pekerjaannya pun akan selalu bernilai ihsan (baik), dalam pengertian, tidak pernah merugikan siapa pun. Ia tidak akan melakukan tindakan manipulasi, korupsi, serta tindakan mark up, betapa pun ringan atau kecilnya, karena ia sangat yakin bahwa Allah selalu mengawasi dan "membersamai"-nya. Itulah buah dari proses hijrah yang terhunjam kuat di dalam jiwanya.

Proses hijrah kita—berlari dan berlomba menuju liqa' Allah—hendaknya sebagaimana sikap para tukang sihir Firaun, sesaat setelah mereka menyatakan beriman kepada Allah swt. Ketika itu, mereka tidak peduli dengan tawaran "kebaikan", negosiasi, posisi empuk, dan "kemuliaan" yang dijanjikan Firaun kepada mereka. Mereka juga tidak menghiraukan intimidasi, ancaman pembantaian dan pembunuhan, hingga penyaliban tubuh mereka yang disampaikan Firaun. Dengan tegas, mereka menyatakan, seperti yang diabadikan oleh al-Qur`an al- Karim :

“Mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja’.”

Demikian kuat dan tangguhnya sikap orang-orang yang pernah menjadi tukang sihir Firaun itu. Kekufuran yang pernah menjadi bagian masa lalu mereka, ternyata tidak membuat mereka buta melihat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Kejahatan yang pernah mereka lakukan dahulu, ternyata tidak membutakan mata hati mereka dari sinar hidayah Allah. Mereka diancam, tetapi mereka tetap teguh memegang hidayah itu. 

Mereka dibunuh, bahkan disalib, tetapi mereka tidak pernah bergeming—apa lagi surut—dari proses hijrah yang mereka lakukan menuju Allah swt. Inilah yang dimaksud oleh perkataan Ibnu 'Atha`illah, "Jangan engkau berpindah dari satu alam ke alam lain, karena engkau (dengan demikian) akan mirip dengan keledai yang berputar di penggilingan. Ia berjalan, dan tempat yang ditujunya ternyata tempat ia berangkat (berjalan dari situ ke situ saja). Akan tetapi, beralihlah dari segenap alam kepada Pencipta Alam, Allah swt."

*Dikompilasi dari beberapa sumber