Bagi umat Islam, syair atau puisi diyakini sebagai sebagai sarana untuk mengungkapkan berbagai pengalaman dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan alam semesta. Pada zaman Rasulullah SAW, banyak sahabat yang piawai dalam membuat syair untuk membela Islam dan Nabi-Nya dalam menghadapi para penyair yang mendiskreditkan Islam dan Nabi Muhammad SAW pada waktu itu. Bahkan keberadaan para penyair tersebut diabadikan dalam Al Qur’an dengan Surat Asy Syu’ara ( Penyair-Penyair ).
Sampai saat ini dalam Islam, terjadi perdebatan yang tidak kunjung habis mengenai haram dan halalnya keberadaan syair dalam mengungkapkan pengalaman beragamanya. Tetapi fakta sejarah membuktikan bahwa para sahabat yang piawai dalam bersyair, sering membela Nabi Muhammad SAW dengan menciptakan syair-syair yang indah, untuk membantah tuduhan para penyair-penyair kafir Qurais yang mendiskreditkan ajaran Islam dan kepribadian Nabi Muhammad SAW. Bahkan, Imam Muslim dalam kitab haditsnya meriwayatkan, ketika pasukan Muslim yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW memasuki kota Mekkah pada peristiwa Futuh Makiyah, para penduduk kota Mekah naik ke atas atap rumahnya masing-masing sambil memukul rebana, mereka bersyair :
Telah datang Sang Rembulan
Dari gunung Tsaniyatil Wada
Dan kami berterima kasih
Kepada seruan dari sang penyeru
( HR Muslim )
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, dapat kita simpulkan bahwa fungsi serta tujuan pembuatan syair-syair itulah yang membedakan mana syair yang termasuk kategori syair yang positif dan syair yang negatif. Ketika syair itu dibuat dengan tujuan untuk menyesatkan manusia dari kebenaran, maka syair tersebut masuk dalam kategori syair yang negatif, tetapi sebaliknya, ketika syair itu ditulis dengan bahasa yang indah dan bermakna d serta bertujuan untuk mengajak manusia mengenal kebenaran maka syair tersebut masuk dalam syair yang positif. Jadi syair merupakan alat yang dapat dipergunakan untuk kebaikan atau sebaliknya dipergunakan untuk keburukan, yang semua tergantung dari niat dan tujuan si penyair tersebut.
Ketika seorang sufi menceritakan pengalaman rohaninya saat bertemu dengan Tuhannya, seringkali ia mengisahkannya dengan memakai syair yang penuh kata penuh tamsil. Tanpa disadari ia telah menjadi sastrawan, yang dalam dunia Islam karyanya sering disebut dengan nama Sastra Sufi. Dan biasanya buah karya sastrawan sufi tersebut sulit untuk dipahami maknanya oleh orang awam, oleh karena itu perlu pembimbing yang ahli dalam bidang tersebut untuk memahami puisi-puisi karya sastrwan sufi tersebut. Begitupula, buah karya Masridrani Wjayakusuma yang sedang akan anda baca ini, penuh dengan kata-kata kalam ibarat, yang merupakan buah dari olah batin selama pengembaraan menjumpai Tuhannya di Lembah Suci Thuwa setelah ia menanggalkan kedua terompahnya.
Syair, sajak atau puisi yang tersusun dari rangkaian kata yang penuh tamsilan dan kalam ibarat memang seringkali menjadi sarana yang efektif untuk melukiskan sebuah pengalaman. Tak terkecuali pengalaman rohani seorang Masridrani Wijayakusuma dalam pengembaraan menemui Tuhannya, yang bisanya sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata biasa. Karena pengalaman spiritual atau rohani adalah pengalaman dalam pengembaraan di dunia simbol, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah dewasa akalnya ( jiwanya ), hal ini tercermin puisinya yang berjudul : Dewasa Akal.
Dunia benda (kenyataan)
Hanya diperuntukkan bagi mereka
Yang belum dewasa akalnya (anak-anak)
Dunia syimbol (perumpamaan),
Hanya diperuntukkan bagi mereka
Yang sudah dewasa akalnya (jiwanya)
Yaitu mereka yang berpikiran progresif’
Oleh karena itu gapailah
Dan fahamilah dunia syimbol (perumpamaan)
Untuk mencapai dunia nyata yang sejati
Dalam puisinya tersebut, seorang Masridrani Wijayakusuma, mengajak para pembaca dan kita semua, menggapai dunia syimbol dan sekaligus memahaminya, agar kita dapat mencapai dunia nyata yang sejati. Karena dunia benda adalah bayangan atau zhilah dari dunia nyata yang sejati. Allah-pun dalam menyampaikan pesan-pesannya dalam Al Qur’an sering menggunakan bahasa simbol :
“ Sungguh Kami telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan, lalu kebanyakan manusia enggan menerimanya kecuali ingkar “. ( QS Al Isra 17 : 89 )
“ Dan sungguh telah Kami adakan bagi manusia di dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan jika engkau datang kepada mereka dengan membawa bukti, niscaya orang-orang kafir berkata, “ Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang merusak “. ( QS Ar Rum 30 : 58 )
Orang yang sudah mengembara di dalam dunia nyata yang sejati, ingin sekali membagi pengalamannya tersebut kepada orang lain. Tetapi untuk mengungkapkan dunia nyata yang sejati itu tidaklah mudah, oleh karena itu mereka para pengembara rohani, memilih kata-kata perumpamaan dalam bentuk rangkaian puisi sebagai sarana menyampaikan dan sekaligus mengajak para pembaca untuk mendapatkan pengalaman dunia sejati tersebut, yang harus didahului dengan perjumpaan dengan Ilahi Rabbi.
Mungkinkah kita dapat berjumpa dengan Ilahi Robbi diatas dunia ini ? Inilah pertanyaan yang menjadi perdebatan umat manusia sepanjang zaman. Tetapi seorang Masridrani Wijayakusuma mengungkapkannya dengan lugas dalam sebait syair : Tuhanku Dalam Jubah Terdalamku.
Tuhanku
Aku bisa menyaksikan-Mu
Karena karunia-Mu
Kasih dan sayang-Mu
Sungguh ingin aku menemui-Mu
Dalam jubah terdalamku
Dalam syair tersebut, ia ingin memberitahukan kita, bahwa sebuah pengalaman menemui dan menyaksikan Tuhan adalah sebuah keniscayaan apabila Tuhan menghendaki hal itu kepada seorang hamba-Nya yang dikasihi dan disayangi-Nya. Dan dalam Al Qur’an Allah memberikan peluang tersebut
“ Kembalilah kamu kepada Tuham-mu dan berserah dirilah kamu kepada-Nya sebelum datang kepada kamu azab kemudian kamu tidak tertolong lagi “. ( QS Az Zumar 39 : 54 )
‘ Dan segeralah kamu kembali kepada Tuhanmu…. “ ( QS Adz Dzariyat 51 : 50 )
“…barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka kerjakanlah amal yang sholeh … “. ( QS Al Kahfi 18 : 110 )
Akan tetapi sebagai sebuah karya sastra, bait-bait puisi yang ditorehkan oleh para sufi, tidak terkecuali karya Masridrani Wijayakusuma ini, seringkali tak mudah dipahami maksudnya oleh para pembaca dan pendengarnya, sehingga kadang melahirkan tuduhan sesat atau zindik seperti yang telah terjadi pada Al Hallaj. Untuk itu dalam menyimak syair mereka harus terlebih dahulu menyelami makna batinnya, jangan hanya melihat pada makna lahirnya. Ibarat kerang mutiara, puisi mereka harus terlebih dahulu dibuka kulitnya untuk dapat mengetahui isinya. Jangan terlena dengan keindahan bahasa, karena biasanya itu cuma ungkapan simbolik, Masridrani Wijayakusuma mengingatkan hal ini dalam syairnya yang berjudul : Bahasa Kata
Bahasa kata, manusia yang membuatnya
Bahasa kata, aneka ragam sulit dicerna
Bahasa Tuhan hanya sedikit yang menerima
Bahasa Tuhan sembunyi tidak nyata
Kalimat terurai menjadi kata-kata
Kata-kata terurai menjadi huruf
Huruf terurai menjadi titik
Titik menerangkan bahasa Tuhan
Janganlah terbelit dengan bahasa
Janganlah melihat figur yang berkata
Cerna yang disampaikan, saring dalam ketenangan
Lihatlah dirimu dalam keheningan batin
Pilih dan bijaklah agar jadi sang arifin
Titik mencercahkan pandangan batin
Membesar menjadi megah bak sinar rembulan
Tercapai kurnia dengan tekat dan kesungguhan
Dengan syair tersebut, sekali lagi, Masridrani Wijayakusuma, mengajak kita untuk tidak terbelit dengan bahasa. Tetapi carilah Titik yang akan menerang bahasa Tuhan, kata beliau. Karena, meminjam kata seorang filosof : “ Small is Beautiful “, Titik Kecil itu Indah maka carilah Keindahan dan Keagungan itu dalam Titik, itulah Titik ba.
Hanya kepada Allah semata kita memohon bimbingan dan pertolongan-Nya, agar supaya upaya sebesar dzarrah ini dapat memberikan Setitik Cahaya Terang bagi umat Islam dalam menggali Rahasia Tuhannya. Sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Kuasa memberi Petunjuk dan Kuasa mengabulkan segala harapan hamba-Nya.
“ Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami Cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu “