Suatu hari terjadi dialog antara seorang Mursyid muda dengan seorang Kyai sepuh, yang anaknya telah menjadi murid dari Sang Mursyid Muda tersebut.
Pak kiai: Nak, saya dengar anak muda mengajar ilmu hakekat kepada putra saya.
----
Guru mursyid: Betul pak kiai.
----
Pak Kiai: Tolong jelaskan kepada saya, sebab putra saya sekarang bicaranya selalu tentang hakekat saja.
----
Guru mursyid: Apa yang harus saya jelaskan kepada pak kiai?
----
Pak kiai: Ya. Saya sudah kenyang berguru di banyak pesantren besar, tapi sampai saat ini saya belum bisa menyelesaikan ilmu syareat yang saya pelajari. Coba anak muda renungkan kembali ajaran yang disampaikan kepada putra saya tentang hakehat. Saya sudah berumur tua saja belum menyelesaikan syareat yang saya tahu begitu banyak. Bagaimana mungkin anda anak muda bicara tentang hakekat kepada putra saya yang nyatanya saja lebih tua dari anda. Nanti saja kalau anak muda sudah menyelesaikan semua syaerat lengkap barulah anak muda bicara tentang hakekat. Itu masih jauh anak muda. Apa sih sekarang yang anak muda ketahui tentang Hakekat itu?
----
Guru mursyid: Betul pak kiai, saya masih muda jauh lebih muda dari putra pak kiai, apalagi dibandingkan umur pak kiai. Rupanya methode yang kita pelajari jauh berbeda dan apa yang kita caripun berbeda.
----
Pak kiai: Maksud anak muda? Ajaran Islam kan methodenya hanya dua saja, yaitu Al Quran dan Al Hadist. Yang lain bagi saya hanya hanya embel-embel.
----
Guru mursyid: Bolehkah saya bertanya?
----
Pak kiai: Silahkan saja, asal masuk akal.
----
Guru mursyid: Betul. Harus memakai akal. Islam, sekali lagi, Islam adalah ilmiah dan masuk akal, Tidak wajib beragama bagi yang tidak berakal. Sebagai awalannya, harus ada keselarasan antara ayat yang kita telusuri dan akal sehat. Sudahkah pak kiai membuktikan surat An Nuur ayat 35?
----
Pak kiai: Belum (pak kiai menjawab dengan agak ragu)
----
Guru mursyid: Sudahkan pak kiai membuktikan surat Ar Rahman ayat 17?
----
Pak kiai: Belum. (pak kia menjawab lirih dan agak terbata)
----
Guru mursyid: Methode kita yang berbeda. Pak kiai mencari surga sedangkan saya mencari Pemilik surga atau saya sebut "Inna lillahi wa ina lillahi roji'un" - Asal (dari) Allah kembali (ke) Allah. Kenapa kata dari dan ke saya beri tanda kurung, Sebab Tuhan yang Maha Tinggi
Yang Maha Meliputi, Ada "dimana-mana". jika saya memakai kata "dari" dan "ke" menjadikan seolah Tuhan Yang Maha Meliputi menjadi "terikat" dengan di satu arah dan tempat.
Menurut pak kiai apa yang kekal?
----
Pak kiai: Hanya Allah yang kekal.
----
Guru mursyid: Betul. CiptaanNya tidak ada yang kekal. Jadi surgapun tidak kekal. Apakah ini tidak membuat pak kiai mau berfikir?
----
Pak kiai terdiam, tidak menjawab.
----
Guru mursyid: Nabi Adam yang lebih mulia dari kita gagal bersaing dengan iblis dan terusir dari surga karena Iblis ternyata lebih licin. Pak kiai siapa dibanding nabi Adam?
Nabi terusir dari surga tetapi iblis masih berada disurga sampai saat ini. Iblis memohon kepada Allah agar diberikan tangguh dan Allah mengabulkannya. Silahkan pak kiai baca surah Al A'raff ayat 14-17, Al Hijr ayat 36-38, Shaad ayat 79-80. Jadi kalau pak kiai mencari surga artinya pak kiai akan kembali dilahirkan kebumi kembali karena masih ingin melihat sungai-sungai yang mengalir dibawahnya gunung-gunung yang hijau masih mengharapkan bidadari cantik, pak kiai masih mendambakan nafsu dan belum melepaskan diri dari lingkaran kelahiran dan kematian.
Bagaimana mungkin pak kiai mencari Allah, ujudnya saja pak kiai tidak tahu karena pak kiai tidak paham marifatullah, apalagi hakekatNya. Pak kiai hanya paham dan "latah" sebatas dongeng yang pak kiai terima sejak kanak-kanak dan disimpan serta diyakini sampai sekarang tanpa diolah, dikaji dan diselaraskan dengan nalar yang berkembang sejalan dengan bertambahnya ilmu, kecerdasan dan umur.
Mudah-mudahan pak kiai paham apa yang difirmankan Allah dalam surah Al Waaqi'ah ayat 7 sampai dengan ayat 10. Saya tidak ingin masuk golongan kanan dari tiga golongan tersebut, karena saya tidak ingin kembali ber"gaul" dengan nafsu rendah lagi dengan masih mengharapkan pemuasan nafsu syahwat di "Surga" bersama bidadari-bidada ri, bukankah masih ada satu golongan lain lagi yang lebih mulia?, yaitu golongan mereka yang tulus dan ikhlas, golongan yang menyembah Allah bukan karena pamrih mengharap "hadiah" yang dijanjikanNya.
Betulkah pak kiai sudah berumur sekitar 75 tahun?
----
Pak kiai tidak menjawab.
----
Guru mursyid: Saya hitung-hitung pak kiai sudah dapat bonus sekitar 10 tahun dari rata-rata umur orang Indonesia yang hanya sekitar 65 tahun secara statistik. Bolehkan saya bertanya lagi?
----
Pak kiai:.......... Silahkan??!!
----
Guru mursyid: Saya mengajarkan kepada ikhsan-ikhsan tentang syareat dari bawah dan bersamaan juga mengajarkan hakekat dari atas kebawah. Jadi bertemu ditengah-tengah , sehingga mereka memahami dzat dan benda, juga hal-hal lain yang sebenarnya sama yang dibicarakan dengan bahasa yang berbeda dalam syareat hingga hakekat. Dan syareat /tarekat pun menjadi cepat selesai karena sudah ada keselarasan pemahaman tentang apa yang dibicarakan. Sudahkan pak kiai membuktikan bintang yang (cahayanya) menembus pada surat Ath Thaariq :6, bintang pada langit terdekat pada surat Ash Shaafaat ayat 6?
----
Pak kiai: .........belum (jawabannya sudah kehilangan kepercayaan diri)
----
Betulkkah syareat artinya syarat-syarat? Kalau diistilahkan seolah memasak didapur pak kiai di syareat hanya mengumpulkan informasi syarat-syaratny a saja bahwa untuk memasak syaratnya diperlukan adanya benda-benda seperti kompor atau api, panci dll.
Lalu tarekatnya, untuk jalannya pak kiai harus pergi kepasar, berbelanja, membersihkan dan memotong bahan-bahan yang akan dimasak, mengulek bumbu-bumbuan dll apapun yang perlu dikerjakan sebagai cara memasak yang sehat dan benar.
Barulah hakekatnya semua bahan dasar dan bumbu-bumbu dimasak dan dicampur/ bertemu/bersatu dalam satu wajan atau panci.
Selesai dimasak barulah pak kiai bisa mengenal rasanya, mendapatkan makrifatnya "Oh rasanya sayur asem itu seperti ini rupanya". Disinilah akal sementara kita lepaskan sebagaimana juga malaikat Jibril terpaksa harus ditinggalkan oleh Nabi, di "puncak" hakekat hanya manusia yang madani yang bisa menyelesaikan hal ini.
Disini, ichsan sudah paham dan mengerti apa yang diperTuhankan sehingga syahadatnya syah, bukan mereka-reka dan mengira-ngira saja jadi bukan sumpah palsu seperti selama ini pak kiai ucapkan. Apakah pak kiai anggap nabi Muhammad tidak bisa membedakan kata "bersaksi" dengan "percaya". Nabi kercerdasannya tinggi dibandingkan manusia sepert kita ini.
Hari ini dalam usia senja pak kiai belum menyelesaikan ilmu syareat yang sangat banyak tidak ada habisnya dan menyita waktu. Pak kiai masih sibuk mengumpulkan syarat-syarat, kapan pak kiai akan mulai "masak", kapan pak kiai akan mulai menunaikan ma'rifat sampai ke hakekat?
Mengapa pak kiai tidak memilih jalan / methode yang pendek dan tepat tapi banyak manfaatnya dan cepat sampainya? Masih sempatkah pak kiai membuktikan ayat-ayat yang saya sebutkan tadi sebelum ajal? Tanyakan kepada putra pak kiai pengandaian saya ini "Apakah seorang kapolres akan bersedia menerima permintaan seorang pesakitan koruptor untuk dipertemukan dengan Kapolres di tahanan?" Tentunya si pesakitan hanya akan menjadi bulan-bulanan "tahanan miskin" yang lain maupun "oknum-oknum". Apalagi Allah, Yang Maha Tinggi tentu Beliau tidak mau menemui mahluk pesakitan yang belum pernah menemui dan mengenalNYA sebelumnya, apalagi jika orang itu gemar menista orang lain walaupun pemahamannya sendiri masih hanya tebak dan terka tanpa pembuktian. Apa yang akan ditanyakan Allah kepada mahluk seperti itu? Tentang "pertemuannya dengan Allah"? jelas tidak akan paham. Tentang bukit Tursinanya? Tentang gua Kahfi atau gua Hiranya? Tentang surga dan nerakanya? jawaban yang akan diberikan tentu monotype dan klise hanya sekedar "Katanya, yang saya dengar dari kata dan dongeng anak-anak sejak saya kecil yang demikian itu seperti ini dan itu". Semua serba katanya. Saya tidak mau tebak dan terka seperti itu, Islam adalah agama akal dan ilmiah. Ini sudah senja bagi pak kiai, sambung Guru mursyid mantap.
----
Guru mursyid: Betul pak kiai.
----
Pak Kiai: Tolong jelaskan kepada saya, sebab putra saya sekarang bicaranya selalu tentang hakekat saja.
----
Guru mursyid: Apa yang harus saya jelaskan kepada pak kiai?
----
Pak kiai: Ya. Saya sudah kenyang berguru di banyak pesantren besar, tapi sampai saat ini saya belum bisa menyelesaikan ilmu syareat yang saya pelajari. Coba anak muda renungkan kembali ajaran yang disampaikan kepada putra saya tentang hakehat. Saya sudah berumur tua saja belum menyelesaikan syareat yang saya tahu begitu banyak. Bagaimana mungkin anda anak muda bicara tentang hakekat kepada putra saya yang nyatanya saja lebih tua dari anda. Nanti saja kalau anak muda sudah menyelesaikan semua syaerat lengkap barulah anak muda bicara tentang hakekat. Itu masih jauh anak muda. Apa sih sekarang yang anak muda ketahui tentang Hakekat itu?
----
Guru mursyid: Betul pak kiai, saya masih muda jauh lebih muda dari putra pak kiai, apalagi dibandingkan umur pak kiai. Rupanya methode yang kita pelajari jauh berbeda dan apa yang kita caripun berbeda.
----
Pak kiai: Maksud anak muda? Ajaran Islam kan methodenya hanya dua saja, yaitu Al Quran dan Al Hadist. Yang lain bagi saya hanya hanya embel-embel.
----
Guru mursyid: Bolehkah saya bertanya?
----
Pak kiai: Silahkan saja, asal masuk akal.
----
Guru mursyid: Betul. Harus memakai akal. Islam, sekali lagi, Islam adalah ilmiah dan masuk akal, Tidak wajib beragama bagi yang tidak berakal. Sebagai awalannya, harus ada keselarasan antara ayat yang kita telusuri dan akal sehat. Sudahkah pak kiai membuktikan surat An Nuur ayat 35?
----
Pak kiai: Belum (pak kiai menjawab dengan agak ragu)
----
Guru mursyid: Sudahkan pak kiai membuktikan surat Ar Rahman ayat 17?
----
Pak kiai: Belum. (pak kia menjawab lirih dan agak terbata)
----
Guru mursyid: Methode kita yang berbeda. Pak kiai mencari surga sedangkan saya mencari Pemilik surga atau saya sebut "Inna lillahi wa ina lillahi roji'un" - Asal (dari) Allah kembali (ke) Allah. Kenapa kata dari dan ke saya beri tanda kurung, Sebab Tuhan yang Maha Tinggi
Yang Maha Meliputi, Ada "dimana-mana". jika saya memakai kata "dari" dan "ke" menjadikan seolah Tuhan Yang Maha Meliputi menjadi "terikat" dengan di satu arah dan tempat.
Menurut pak kiai apa yang kekal?
----
Pak kiai: Hanya Allah yang kekal.
----
Guru mursyid: Betul. CiptaanNya tidak ada yang kekal. Jadi surgapun tidak kekal. Apakah ini tidak membuat pak kiai mau berfikir?
----
Pak kiai terdiam, tidak menjawab.
----
Guru mursyid: Nabi Adam yang lebih mulia dari kita gagal bersaing dengan iblis dan terusir dari surga karena Iblis ternyata lebih licin. Pak kiai siapa dibanding nabi Adam?
Nabi terusir dari surga tetapi iblis masih berada disurga sampai saat ini. Iblis memohon kepada Allah agar diberikan tangguh dan Allah mengabulkannya. Silahkan pak kiai baca surah Al A'raff ayat 14-17, Al Hijr ayat 36-38, Shaad ayat 79-80. Jadi kalau pak kiai mencari surga artinya pak kiai akan kembali dilahirkan kebumi kembali karena masih ingin melihat sungai-sungai yang mengalir dibawahnya gunung-gunung yang hijau masih mengharapkan bidadari cantik, pak kiai masih mendambakan nafsu dan belum melepaskan diri dari lingkaran kelahiran dan kematian.
Bagaimana mungkin pak kiai mencari Allah, ujudnya saja pak kiai tidak tahu karena pak kiai tidak paham marifatullah, apalagi hakekatNya. Pak kiai hanya paham dan "latah" sebatas dongeng yang pak kiai terima sejak kanak-kanak dan disimpan serta diyakini sampai sekarang tanpa diolah, dikaji dan diselaraskan dengan nalar yang berkembang sejalan dengan bertambahnya ilmu, kecerdasan dan umur.
Mudah-mudahan pak kiai paham apa yang difirmankan Allah dalam surah Al Waaqi'ah ayat 7 sampai dengan ayat 10. Saya tidak ingin masuk golongan kanan dari tiga golongan tersebut, karena saya tidak ingin kembali ber"gaul" dengan nafsu rendah lagi dengan masih mengharapkan pemuasan nafsu syahwat di "Surga" bersama bidadari-bidada ri, bukankah masih ada satu golongan lain lagi yang lebih mulia?, yaitu golongan mereka yang tulus dan ikhlas, golongan yang menyembah Allah bukan karena pamrih mengharap "hadiah" yang dijanjikanNya.
Betulkah pak kiai sudah berumur sekitar 75 tahun?
----
Pak kiai tidak menjawab.
----
Guru mursyid: Saya hitung-hitung pak kiai sudah dapat bonus sekitar 10 tahun dari rata-rata umur orang Indonesia yang hanya sekitar 65 tahun secara statistik. Bolehkan saya bertanya lagi?
----
Pak kiai:.......... Silahkan??!!
----
Guru mursyid: Saya mengajarkan kepada ikhsan-ikhsan tentang syareat dari bawah dan bersamaan juga mengajarkan hakekat dari atas kebawah. Jadi bertemu ditengah-tengah , sehingga mereka memahami dzat dan benda, juga hal-hal lain yang sebenarnya sama yang dibicarakan dengan bahasa yang berbeda dalam syareat hingga hakekat. Dan syareat /tarekat pun menjadi cepat selesai karena sudah ada keselarasan pemahaman tentang apa yang dibicarakan. Sudahkan pak kiai membuktikan bintang yang (cahayanya) menembus pada surat Ath Thaariq :6, bintang pada langit terdekat pada surat Ash Shaafaat ayat 6?
----
Pak kiai: .........belum (jawabannya sudah kehilangan kepercayaan diri)
----
Betulkkah syareat artinya syarat-syarat? Kalau diistilahkan seolah memasak didapur pak kiai di syareat hanya mengumpulkan informasi syarat-syaratny a saja bahwa untuk memasak syaratnya diperlukan adanya benda-benda seperti kompor atau api, panci dll.
Lalu tarekatnya, untuk jalannya pak kiai harus pergi kepasar, berbelanja, membersihkan dan memotong bahan-bahan yang akan dimasak, mengulek bumbu-bumbuan dll apapun yang perlu dikerjakan sebagai cara memasak yang sehat dan benar.
Barulah hakekatnya semua bahan dasar dan bumbu-bumbu dimasak dan dicampur/ bertemu/bersatu dalam satu wajan atau panci.
Selesai dimasak barulah pak kiai bisa mengenal rasanya, mendapatkan makrifatnya "Oh rasanya sayur asem itu seperti ini rupanya". Disinilah akal sementara kita lepaskan sebagaimana juga malaikat Jibril terpaksa harus ditinggalkan oleh Nabi, di "puncak" hakekat hanya manusia yang madani yang bisa menyelesaikan hal ini.
Disini, ichsan sudah paham dan mengerti apa yang diperTuhankan sehingga syahadatnya syah, bukan mereka-reka dan mengira-ngira saja jadi bukan sumpah palsu seperti selama ini pak kiai ucapkan. Apakah pak kiai anggap nabi Muhammad tidak bisa membedakan kata "bersaksi" dengan "percaya". Nabi kercerdasannya tinggi dibandingkan manusia sepert kita ini.
Hari ini dalam usia senja pak kiai belum menyelesaikan ilmu syareat yang sangat banyak tidak ada habisnya dan menyita waktu. Pak kiai masih sibuk mengumpulkan syarat-syarat, kapan pak kiai akan mulai "masak", kapan pak kiai akan mulai menunaikan ma'rifat sampai ke hakekat?
Mengapa pak kiai tidak memilih jalan / methode yang pendek dan tepat tapi banyak manfaatnya dan cepat sampainya? Masih sempatkah pak kiai membuktikan ayat-ayat yang saya sebutkan tadi sebelum ajal? Tanyakan kepada putra pak kiai pengandaian saya ini "Apakah seorang kapolres akan bersedia menerima permintaan seorang pesakitan koruptor untuk dipertemukan dengan Kapolres di tahanan?" Tentunya si pesakitan hanya akan menjadi bulan-bulanan "tahanan miskin" yang lain maupun "oknum-oknum". Apalagi Allah, Yang Maha Tinggi tentu Beliau tidak mau menemui mahluk pesakitan yang belum pernah menemui dan mengenalNYA sebelumnya, apalagi jika orang itu gemar menista orang lain walaupun pemahamannya sendiri masih hanya tebak dan terka tanpa pembuktian. Apa yang akan ditanyakan Allah kepada mahluk seperti itu? Tentang "pertemuannya dengan Allah"? jelas tidak akan paham. Tentang bukit Tursinanya? Tentang gua Kahfi atau gua Hiranya? Tentang surga dan nerakanya? jawaban yang akan diberikan tentu monotype dan klise hanya sekedar "Katanya, yang saya dengar dari kata dan dongeng anak-anak sejak saya kecil yang demikian itu seperti ini dan itu". Semua serba katanya. Saya tidak mau tebak dan terka seperti itu, Islam adalah agama akal dan ilmiah. Ini sudah senja bagi pak kiai, sambung Guru mursyid mantap.
Suasana menjadi hening, kaku dan dingin beberapa saat, pak kiai tercenung melihat ke lantai. Beruntung putranya masuk dan mengajak Guru mursyid untuk diperkenalkan kepada seorang kerabat dekatnya