Sakinah mawaddah wa rahmah itu adalah sebuah konsep yang umumnya dicari oleh banyak orang terutama oleh mereka yang ingin dan sedang menjalankan rumah tangga.
Mereka bereksperimen dalam hubungan rumah tangganya dengan formulasi semata-mata tertuju pada hubungan seksuil atau setidaknya dalam format kesejahteraan yang bersifat fisik-materil, yakni hanya menampakkan diri pada kesadaran fungsional. Cukup hanya sekedar memahami tugas masing-masing, sakinah mawaddah wa rahmah sepertinya sudah tercapai. Pendek sekali format berpikirnya kalau seperti itu. Mengenai ini, coba kita buka ayat yang sering dipakai oleh seorang penghulu dalam nasehatnya pada acara pernikahan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Arruum (30) : 21)
Ayat di atas telah menyebutkan adanya tanda-tanda Ketuhanan yang mesti ditemukan oleh setiap orang dalam berpasangan. Awal dan akhir ayat tersebut telah menekankan sebuah perintah bagi orang yang mau berpikir, bukan semata-mata membangun keluarga berdasarkan hubungan-hubungan fisikal. Hubungan suami-isteri hanyalah sebuah trigger (pemicu) untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Bahwa sakinah itu adalah ketenteraman diri yang dibangun dalam keluarga. Ketenteraman itu berada di dalam diri sendiri dan dibangun melalui sebuah pola yang berasal dari luar diri. Ketenteraman itu lebih bersifat distributif, yakni masing-masing (suami dan isteri) memiliki kewajiban yang sama dalam tujuan hidup.
Tujuan hidup itu telah dipancangkan oleh suami atau isteri di dalam diri mereka masing-masing. Seperti mur dan baut yang dipasangkan, ia dibuat untuk tujuan tertentu dan bukan semata-mata dipasangkan tanpa maksud. Dari dua pasangan itu, terbuatlah televisi, hp, mobil, dll. Jadi, sebuah produk itu adalah kumpulan mur dan baut yang dipasangkan.
Istilah sakinah bukanlah semata-mata merujuk pada keadaan keluarga yang adem ayem, sunyi senyap, dan rukun-rukun alias tanpa gesekan. Hubungan suami-isteri tak ubahnya arena terkecil dari hubungan sesama manusia (hubungan kemakhlukan).
Namun demikian, arena terkecil itu mampu membangun atau memporak-porandakan arena yang lebih besar dalam hubungan kemakhlukan yang lebih luas. Seperti atom, ia merupakan partikel terkecil dari unsur alam semesta yang terdiri dari pasangan proton dan neutron. Daya terbesar dari pasangan proton dan neutron itu adalah inti atom. Dari partikel terkecil yang disebut inti atom itulah unsur-unsur atau perubahan-perubahan besar dapat dimunculkan.
Daya terbesar alam semesta justru dimulai dari unsur terkecilnya. Begitulah kira-kira perumpamaannya.
Hubungan suami istri itu bukanlah tujuan pernikahan, namun, justru ketika masing-masing mampu menemukan daya terbesar dalam hubungan tersebut maka hubungan kemakhlukan dalam perspektif yang lebih luas akan bisa dibangun. Tuhan adalah “daya terbesar” yang harus bisa ditemukan dalam hubungan suami isteri.
Kesadaran akan adanya “daya terbesar” itulah ketentuan perubahan-perubahan sosial akan bisa terjadi. Hal inilah yang dikatakan sebagai tujuan teragung sebuah pernikahan.
Sakinah dalam kosakata Arab artinya tenang, tenteram atau mantap (“netep”). Ia muncul bukan dari kenikmatan-kenikmatan lahiriyah (materil), tapi justru kenikmatan lahiriyah itu muncul dari sakinah. Sebutan sakinah bukan untuk keluarga, tapi untuk diri masing-masing pasangan. Ketenangan dan ketenteraman itu dirasakan oleh masing-masing melalui kesadaran yang dibangun untuk sebuah daya terbesar. Masing-masing memiliki produktifitas yang sangat positif dalam hubungan kemakhlukan. Jadi, sakinah itu intinya adalah sebuah daya atau motivasi untuk menemukan tujuan teragung dalam kehidupan manusia itu sendiri bagaimanapun caranya. Istilah “bagaimanapun caranya” itu untuk menunjukkan pola hubungan yang beraneka macam asalkan ia menimbulkan motivasi, tentunya yang dibenarkan secara syar’ie ataupun berdasarkan system nilai dalam masyarakat.
Kalau mawaddah itu apa ? Mawaddah umumnya diartikan sebagai mahabbah atau kecintaan.
Sekilas mungkin ada benarnya terjemahan itu. Namun, implementasi dari istilah “cinta” yang dibangun dalam keluarga itu berkonotasi kemana. Apa yang kita pahami tentang cinta? Bermesraan ? Hubungan seksual ? Ataukah sebuah kecendrungan dalam perhatian ? Ternyata memahami cinta itu sendiri menjadi tidak mudah jika dalam implementasinya masih saja seputar kenikmatan-kenikmatan materil. Coba kita kaji istilah mawaddah dalam kosakata bahasa Arab.
Mawaddah itu berasal dari kata madda yang artinya memberi, menyajikan, atau menghidangkan. Ketika terjadi perubahan kata (melalui rumusan tertentu dalam gramatika bahasa Arab) menjadi mawaddah, maka ia menjadi kata benda yang artinya pemberian, sajian atau hidangan. Dalam perubahan lain disebut juga “maaddah” artinya pemberian atau kecintaan. Bentuk kata jamak dari mawaddah adalah “maaidah”. Seperti dalam al-Qur’an ada surat al-Maaidah yang artinya hidangan. Dari sini barangkali nanti akan bisa diraba apa makna cinta yang diistilahkan dalam kata mawaddah. Sajian atau pemberian yang dijadikan oleh Allah diantara pasangan tersebut, sebagaimana tersebut dalam ayat di atas, lebih mengarah kepada suatu kemampuan untuk saling memberi tanpa pamrih. Tanpa pamrih? Iya, tanpa pamrih, karena dia sudah menemukan daya terbesarnya hingga ia termotivasi untuk melakukan sesuatu yang semata-mata untuk daya terbesarnya itu sendiri.
Dalam istilah lain, ada berkah dari pengorbanannya yang dia berikan tanpa pamrih itu. Keberkahan itu justru semakin memotivasinya untuk mendarmabhaktikan dirinya di jalan Tuhan. Pemberian tanpa pamrih itu adalah wujud cinta kepada Tuhan, bukan berhenti pada hanya sekedar cinta pasangan. Cinta pasangan hanyalah media untuk meraih kemampuan mawaddah yang memunculkan keberkahan itu. Dan hal itu tidak melulu menampakkan diri pada bentuk yang hanya sekedar bermesraan, mengelus-elus, membelai-belai, dst. Kalo gitu, jika ekspresi cinta itu lewat berantem tidak apa-apa dong ? simpulkan saja sendiri.
Lalu makna rahmat itu apa ? Singkat cerita, rahmat itu artinya bagi-bagi buat yang lain. Apanya yang dibagi ? Keberkahannya. Berbagilah keberkahan buat yang lain.
Caranya ? Keluarga sakinah yang memunculkan keberkahan itu akan bisa diambil manfaat oleh orang lain baik dari segi hal, materil, pandangan-pandangannya, pemikirannya, produktifitas dari keluarganya, dll. Dan pasangan keluarga sakinah itu akan menebarkan harum semerbak mewangi yang bisa menghidupkan alam disekitarnya yang bukan cuma manusia.
Istilah rahmat yang disandang Rasul yang diamanahkan oleh Allah juga bermakna sama dengan istilah rahmat yang dibangun dalam keluarga sakinah. “Tidaklah Aku utus engkau (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam semesta”.
Mereka bereksperimen dalam hubungan rumah tangganya dengan formulasi semata-mata tertuju pada hubungan seksuil atau setidaknya dalam format kesejahteraan yang bersifat fisik-materil, yakni hanya menampakkan diri pada kesadaran fungsional. Cukup hanya sekedar memahami tugas masing-masing, sakinah mawaddah wa rahmah sepertinya sudah tercapai. Pendek sekali format berpikirnya kalau seperti itu. Mengenai ini, coba kita buka ayat yang sering dipakai oleh seorang penghulu dalam nasehatnya pada acara pernikahan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Arruum (30) : 21)
Ayat di atas telah menyebutkan adanya tanda-tanda Ketuhanan yang mesti ditemukan oleh setiap orang dalam berpasangan. Awal dan akhir ayat tersebut telah menekankan sebuah perintah bagi orang yang mau berpikir, bukan semata-mata membangun keluarga berdasarkan hubungan-hubungan fisikal. Hubungan suami-isteri hanyalah sebuah trigger (pemicu) untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Bahwa sakinah itu adalah ketenteraman diri yang dibangun dalam keluarga. Ketenteraman itu berada di dalam diri sendiri dan dibangun melalui sebuah pola yang berasal dari luar diri. Ketenteraman itu lebih bersifat distributif, yakni masing-masing (suami dan isteri) memiliki kewajiban yang sama dalam tujuan hidup.
Tujuan hidup itu telah dipancangkan oleh suami atau isteri di dalam diri mereka masing-masing. Seperti mur dan baut yang dipasangkan, ia dibuat untuk tujuan tertentu dan bukan semata-mata dipasangkan tanpa maksud. Dari dua pasangan itu, terbuatlah televisi, hp, mobil, dll. Jadi, sebuah produk itu adalah kumpulan mur dan baut yang dipasangkan.
Istilah sakinah bukanlah semata-mata merujuk pada keadaan keluarga yang adem ayem, sunyi senyap, dan rukun-rukun alias tanpa gesekan. Hubungan suami-isteri tak ubahnya arena terkecil dari hubungan sesama manusia (hubungan kemakhlukan).
Namun demikian, arena terkecil itu mampu membangun atau memporak-porandakan arena yang lebih besar dalam hubungan kemakhlukan yang lebih luas. Seperti atom, ia merupakan partikel terkecil dari unsur alam semesta yang terdiri dari pasangan proton dan neutron. Daya terbesar dari pasangan proton dan neutron itu adalah inti atom. Dari partikel terkecil yang disebut inti atom itulah unsur-unsur atau perubahan-perubahan besar dapat dimunculkan.
Daya terbesar alam semesta justru dimulai dari unsur terkecilnya. Begitulah kira-kira perumpamaannya.
Hubungan suami istri itu bukanlah tujuan pernikahan, namun, justru ketika masing-masing mampu menemukan daya terbesar dalam hubungan tersebut maka hubungan kemakhlukan dalam perspektif yang lebih luas akan bisa dibangun. Tuhan adalah “daya terbesar” yang harus bisa ditemukan dalam hubungan suami isteri.
Kesadaran akan adanya “daya terbesar” itulah ketentuan perubahan-perubahan sosial akan bisa terjadi. Hal inilah yang dikatakan sebagai tujuan teragung sebuah pernikahan.
Sakinah dalam kosakata Arab artinya tenang, tenteram atau mantap (“netep”). Ia muncul bukan dari kenikmatan-kenikmatan lahiriyah (materil), tapi justru kenikmatan lahiriyah itu muncul dari sakinah. Sebutan sakinah bukan untuk keluarga, tapi untuk diri masing-masing pasangan. Ketenangan dan ketenteraman itu dirasakan oleh masing-masing melalui kesadaran yang dibangun untuk sebuah daya terbesar. Masing-masing memiliki produktifitas yang sangat positif dalam hubungan kemakhlukan. Jadi, sakinah itu intinya adalah sebuah daya atau motivasi untuk menemukan tujuan teragung dalam kehidupan manusia itu sendiri bagaimanapun caranya. Istilah “bagaimanapun caranya” itu untuk menunjukkan pola hubungan yang beraneka macam asalkan ia menimbulkan motivasi, tentunya yang dibenarkan secara syar’ie ataupun berdasarkan system nilai dalam masyarakat.
Kalau mawaddah itu apa ? Mawaddah umumnya diartikan sebagai mahabbah atau kecintaan.
Sekilas mungkin ada benarnya terjemahan itu. Namun, implementasi dari istilah “cinta” yang dibangun dalam keluarga itu berkonotasi kemana. Apa yang kita pahami tentang cinta? Bermesraan ? Hubungan seksual ? Ataukah sebuah kecendrungan dalam perhatian ? Ternyata memahami cinta itu sendiri menjadi tidak mudah jika dalam implementasinya masih saja seputar kenikmatan-kenikmatan materil. Coba kita kaji istilah mawaddah dalam kosakata bahasa Arab.
Mawaddah itu berasal dari kata madda yang artinya memberi, menyajikan, atau menghidangkan. Ketika terjadi perubahan kata (melalui rumusan tertentu dalam gramatika bahasa Arab) menjadi mawaddah, maka ia menjadi kata benda yang artinya pemberian, sajian atau hidangan. Dalam perubahan lain disebut juga “maaddah” artinya pemberian atau kecintaan. Bentuk kata jamak dari mawaddah adalah “maaidah”. Seperti dalam al-Qur’an ada surat al-Maaidah yang artinya hidangan. Dari sini barangkali nanti akan bisa diraba apa makna cinta yang diistilahkan dalam kata mawaddah. Sajian atau pemberian yang dijadikan oleh Allah diantara pasangan tersebut, sebagaimana tersebut dalam ayat di atas, lebih mengarah kepada suatu kemampuan untuk saling memberi tanpa pamrih. Tanpa pamrih? Iya, tanpa pamrih, karena dia sudah menemukan daya terbesarnya hingga ia termotivasi untuk melakukan sesuatu yang semata-mata untuk daya terbesarnya itu sendiri.
Dalam istilah lain, ada berkah dari pengorbanannya yang dia berikan tanpa pamrih itu. Keberkahan itu justru semakin memotivasinya untuk mendarmabhaktikan dirinya di jalan Tuhan. Pemberian tanpa pamrih itu adalah wujud cinta kepada Tuhan, bukan berhenti pada hanya sekedar cinta pasangan. Cinta pasangan hanyalah media untuk meraih kemampuan mawaddah yang memunculkan keberkahan itu. Dan hal itu tidak melulu menampakkan diri pada bentuk yang hanya sekedar bermesraan, mengelus-elus, membelai-belai, dst. Kalo gitu, jika ekspresi cinta itu lewat berantem tidak apa-apa dong ? simpulkan saja sendiri.
Lalu makna rahmat itu apa ? Singkat cerita, rahmat itu artinya bagi-bagi buat yang lain. Apanya yang dibagi ? Keberkahannya. Berbagilah keberkahan buat yang lain.
Caranya ? Keluarga sakinah yang memunculkan keberkahan itu akan bisa diambil manfaat oleh orang lain baik dari segi hal, materil, pandangan-pandangannya, pemikirannya, produktifitas dari keluarganya, dll. Dan pasangan keluarga sakinah itu akan menebarkan harum semerbak mewangi yang bisa menghidupkan alam disekitarnya yang bukan cuma manusia.
Istilah rahmat yang disandang Rasul yang diamanahkan oleh Allah juga bermakna sama dengan istilah rahmat yang dibangun dalam keluarga sakinah. “Tidaklah Aku utus engkau (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam semesta”.