Aqiqah Dalam Sudut Pandang Syari'at dan Hakikat



Dalam agama Islam terdapat tradisi upacara untuk merayakan kelahiran seorang bayi dalam suatu keluarga. Upacara itu dinamakan Aqiqah. Kata ”Aqiqah” berasal dari bahasa Arab. Secara etimologi, “Aqiqah” berarti “memutus”. Misalnya kalimat : ‘Aqqa walidayhi” artinya ”ia memutus (tali silaturahmi) keduanya”. Dalam istilah, ‘Aqiqah berarti menyembelih kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Allah SWT karena lahirnya seorang anak. Perayaan ini sebenarnya merupakan tradisi bangsa Arab pra Islam, yang kemudian diteruskan oleh Nabi Muhammad Saw dengan diadakan perubahan dalam tatacaranya.

”Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Buraidah yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hal berikut :

”Dahulu pada masa Jahiliyah apabila bayi seseorang diantara kami baru dilahirkan, kami menyembelih kambing dan melumurkan darah kambing itu ke kepala bayi. Setelah Allah menurunkan agama Islam maka kami diperintahkan menyembelih kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan minyak zafaran” (HR Abu Dawud)

Dikalangan ulama Islam, terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang masalah Aqiqah ini. Ada ulama yang mewajibkan, ada yang menyarankan dan ada pula yang mengharamkan tradisi aqiqah ini, dengan berbagai argumentasinya masing-masing. Khusus di Indonesia yang mayoritas bermahzab Syafi’i, aqiqah merupakan tradisi yang sudah lama dilaksanakan sebagai sunnah dari Rasulullah Saw.

Hukum Aqiqah Secara Syari’at.

Hukum aqiqah itu adalah sama dengan ibadah qurban yaitu Sunat Muakkad kecuali jika sebelumnya dinazarkan, maka aqiqah itu menjadi wajib hukumnya bagi yang bersangkutan.

“Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan, maka lakukan aqiqah pada hari ketujuh dengan menyembelih hewan, diberi nama dan dicukur rambutnya.(HR Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi)

”Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya”. (HR. Bukhari)

“Bayi laki-laki di aqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing”. (HR.Ahmad)

“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama (besarnya) dan untuk perempuan satu kambing. (HR. Abu Dawud)

“Cukurlah rambut dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya”. (HR.Ahmad)

Daging Aqiqah

Daging aqiqah sebaiknya tidak disedekahkan dalam keadaan mentah, bahkan disunatkan supaya dimasak terlebih dahulu dengan sedikit rasa manis, walaupun aqiqah itu aqiqah nazar. Tujuannya ialah untuk bertafa’ul (menaruh harapan baik) agar kelak anak yang baru dilahirkan berakhlak yang baik. Kemudian daging yang telah dimasak itu diberikan kepada fakir miskin, dan juga dibagikan ke para tetangga atau bisa juga mengundang para tetangga untuk hadir dan menikmati hidangan di rumah yang beraqiqah. Namun yang lebih afdal adalah dibagikan ke rumah-rumah orang fakir miskin.

Sementara itu, sunat hukumnya bagi orang yang beraqiqah memakan sebahagian kecil dari daging hewan yang diaqiqahkan, sepanjang aqiqahnya itu bukan aqiqah wajib (aqiqah nazar) atau aqiqah karena wasiat. Dan pada waktu memotong daging disunatkan pula supaya tulang-belulang hewan itu jangan dipecah atau dihancurkan, bahkan disunatkan agar dipotong tulang-tulangnya mengikuti sendi-sendinya.

“Keutamaan bagi anak lelaki (dalam aqiqah) adalah dua ekor kambing yang sama keadaannya (besarnya) dan bagi anak perempuan seekor kambing. Dipotong anggota-anggota (binatang) dan jangan dipecah-pecah tulangnya.” (HR. Al Hakim)

Hal ini bertujuan untuk bertafa’ul (menaruh harapan baik) terhadap pertumbuhan tulang anak itu, agar nanti tidak pecah dan tidak patah sebagaimana tidak pecah dan tidak patahnya tulang-tulang hewan aqiqah itu.

Waktu Aqiqah

Aqiqah itu sebaiknya dilakukan pada waktu anak dilahirkan, sampai anak itu baligh. Ini adalah pendapat yang paling rajih. Apabila anak itu sudah baligh, gugurlah hukum itu dari walinya dan saat itulah hukum sunat berpindah ke anak itu sendiri dalam melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri.Walaupun waktu yang disunatkan untuk beraqiqah itu panjang, tetapi yang lebih utama adalah dilakukan pada hari ketujuh dari hari kelahirannya.

“Rasulullah mengaqiqahkan Hasan dan Husain pada hari ke tujuh, memberikan kedua-duanya nama dan beliau menyuruh supaya menghilangkan dari keduanya gangguan di kepalanya (mencukur rambut kepala).” (HR. Al Hakim)

Syarat Syah Aqiqah

Syarat syah aqiqah adalah:


  • Berniat aqiqah ketika menyembelih.
  • Hewan yang akan disembelih adalah hewan ternak berkaki empat, seperti kambing, biri-biri, kibas, lembu, kerbau dan unta.
  • Memenuhi syarat-syarat pemotongan hewan.
  • Tidak ada kecacatan pada hewan tersebut
  • Disembelih pada waktunya yaitu hari ketujuh setelah kelahiran sampai sebelum anak tersebut baligh.
  • Hewan yang hendak disembelih sudah cukup umur.
  • Hewan yang sudah cukup umur untuk dijadikan Aqiqah adalah sebagai berikut : Binatang UmurBiri-biri/ 1 tahun atau lebih
  • Kambing 2 tahun atau lebih
  • Lembu/kenbau 2 tahun atau lebih
  • Unta 5 tahun atau lebih


Sunat-sunat Aqiqah adalah :


  • Dilakukan pada hari ke tujuh kelahiran
  • Menyembelih ketika matahari sedang naik (pagi)
  • Mencukur rambut bayi setelah penyembelihan hewan
  • Memberi nama yang baik kepada bayi
  • Berdoa ketika hendak menyembelih
  • Daging dimasak manis.
  • Tidak mematahkan sendi tulang binatang tersebut ketika dimasak.
  • Daging aqiqah disunatkan untuk jamuan.Hikmah Aqiqah
  • Sebagai ungkapan rasa syukur karena diberikan kekuatan oleh Allah S.WT untuk menjalankan syariat Islam dan juga tanda bersyukur karena telah dianugerahkan seorang anak.
  • Meningkatkan amal sedekah.
  • Sebagai tanda mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
  • Mengukuhkan semangat persaudaraan dalam masyarakat sekitar.
  • Membuang sifat bakhil dan tamak dalam diri.
  • Memuliakan kehidupan seorang bayi dengan amalan yang baik
  • membiasakan berkorban bagi orang tua.

Aqiqah dalam pandangan Hakikat

Dalam pandangan hakikat, aqiqah mempunyai makna yang sangat dalam apabila di ta’wilkan secara hakikat. Menurut kaum sufi, setiap bayi yang lahir ke dunia ini mempunyai ”hutang” yang harus dilunasi kepada Allah, yaitu ia harus kembali mengulang syahadatnya kepada Allah ketika ia masih hidup di dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang diisyaratkan dalam Al Qur’an :

”Dan ingatlah ketika Tuhanmu menjadikan keturunan bani Adam dari tulang punggung mereka, dan Allah mengambil kesaksian atas diri mereka,”Bukankah Aku ini Tuhanmu ?”, Mereka menjawab ”Betul,kami menjadi saksi”. Yang demikian supaya kamu tidak mengatakan di hari Kebangkitan : ”Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalai dari peristiwa ini”. Atau agar kamu tidak mengatakan, ”Sesungguhnya bapak-bapak kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini hanyalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat itu ?. Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu dan supaya mereka kembali”. (QS Al A’raf 7 : 172)

Ketika ”hutang” itu sudah dilunasi selagi masih hidup di dunia maka ketika meninggal dunia, ia akan kembali kepada Allah. Tetapi, apabila ia tidak bisa melunasi hutang tersebut, maka ketika ia meninggal dunia, ia tidak bisa kembali kepada Allah dan ia akan dilahirkan kembali dengan membawa hutang tersebut.”Dan mereka berkata, ”Apakah bila kita telah menjadi tulang belulang dan berserakan, apakah kita akan dibangkitkan sebagai mahkluk baru ?”. Katakanlah, ”Jadilah kamu batu atau besi, atau menjadi mahkluk yang besar dalam dadamu”. Maka mereka akan bertanya, ”Siapakah yang akan mengembalikan kami”. Katakan, yaitu Yang Menciptakan kamu pertama kali”. Maka mereka akan menggelengkan kepala kepadamu dan bertanya, ”Bilakah itu ?’. Katakanlah, ”Mudah-mudahan itu terjadinya dekat”. (QS Al Isra’ 17 : 49-51)

Inilah yang dimaksud bahwa setiap bayi yang lahir di dunia tergadai aqiqahnya dan untuk menebusnya hanya ada satu cara, yaitu dengan menyembelih Empat Hawa Nafsu yang terdapat pada Tujuh Lubang Inderawinya, dengan metode ”Takbiratul Ihram” yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.”Dan sesungguhnya apabila Kami perintahkan kepada mereka, ”Bunuhlah anfusmu atau keluarlah kamu dari rumahmu”. Mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil di antara mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka, pasti lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan ketetapan iman mereka”. (QS An Nisa 4 : 66)

”Sesungguhnya Kami akan memberikan kepadamu nikmat yang besar. Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan sembelihlah hawa nafsumu”. (QS Al Kautsar 108 : 1-2)

Kesimpulan

Secara Syari’at ‘Aqiqah adalah prosesi menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahiran seorang bayi, sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Allah SWT karena lahirnya seorang anak.Secara hakekat ’Aqiqah adalah prosesi memutus jalannya aliran hawa nafsu yang ada dalam tujuh pintu inderawi, sehingga diri kita dapat kembali ”menebus” Syahadat kita yang telah tergadai.

Anakmu bukanlah

milikmu, mereka adalah

putra-putri kehidupan.

Mereka terlahir

melaluimu, tetapi bukan

berasal darimu, karena itu

mereka ada bersamamu

tapi bukanlah milikmu.

Engkau harus memberi

mereka cintamu, tetapi

bukan pemikiranmu,

karena mereka punya

pemikiran mereka sendiri.

Engkau bisa memberikan

rumah untuk tubuh

mereka, tetapi tidak

untuk jiwanya. Karena

jiwa mereka akan tinggal

di rumah masa depan,

yang tidak bisa kau

kunjungi, bahkan dalam

mimpimu sekalipun.

Engkau boleh mencoba

meniru mereka, tapi

jangan memaksa mereka

menirumu, karena

kehidupan tidak pernah

berjalan mundur, tidak

pula akan terulang.

Engkau adalah busur

panah, yang darinya

anak-anakmu akan

meluncur ke depan.

Sang pemanah

menarikmu dengan

keagungan-Nya agar anak

panah bisa melesat jauh

menuju keabadian.(Khalil Gibran)