Tidak Ada Kekhawatiran Bagi Orang Beriman

Suatu riwayat mengisahkan, ketika Nabi Muhammad SAW sedang duduk-duduk di rumahnya, saat Salman Al Farisi, sahabat dekatnya yang bukan dari etnis Arab, yang telah kenyang bongkar pasang agama dan cara memuja Tuhan sebelum akhirnya bertemu dengan Rasulullah dan memeluk Islam, datang mendekat. Lelaki cerdas yang selalu bertanya tentang segala hal dalam pikirannya itu sedang galau. Apalagi kalau bukan dikepung sebuah tanya. "Assalamu 'alaikum, yaa Rasulullah". "Wa 'alaikum salam".

Tak banyak basa-basi, ia langsung bercerita tentang orang-orang non muslim, yang percaya kepada Tuhan dan melakukan pekerjaan yang baik, (amalan shalih). Tapi itu tadi, mereka non muslim. "Akan bagaimanakah nasib mereka kelak, ya Rasulullah ?". Rasulullah menjawab : "Mereka akan mati dalam keadaan tidak Islam, kafir, dan mereka akan menjadi penghuni neraka". Salman sungguh sedih mendengar jawaban itu. Terbayang di benaknya, bagaimana teduhnya wajah- wajah orang yang percaya dan menyembah Tuhan itu, kepatuhan mereka kepada Tuhan, dan kasih sayangnya kepada sesama. Setelah pamit, dia melangkah. Makin gundah, tapi tak kuasa membantah utusan Allah.


Di belakangnya, tubuh Rasulullah sedikit bergetar. Malaikat Jibril, datang berkelebat, membawa kata-kata milik Sang Kebenaran Sejati. Firman Allah SWT yang kemudian tercatat dalam Al Qur'an, pada Surat Al Baqarah ayat 62 yang sungguh indah, meneduhkan hati.

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلنَّصَـٰرَىٰ وَٱلصَّـٰبِـِٔينَ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَعَمِلَ صَـٰلِحً۬ا فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡہِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati".

Rasulullah memanggil Salman, menyampaikan firman Tuhan yang baru saja turun itu, dan mengimbuhinya sembari tersenyum lembut, "Ayat itu untuk teman-temanmu".

Asbabun nuzul ayat ini menunjukkan kemuliaan dan kerendahan hati Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah.

Dalam tafsir Al Azhar, Buya Hamka mengatakan : “Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. ‘Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita (ujung ayat 62), hlm.211.

Yang menarik, Hamka dengan santun menolak bahwa ayat telah dihapuskan (mansukh) oleh ayat 85 surat surat Ali ‘Imran yang artinya: “Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.” (Hlm. 217). Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut: “Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.” (Hlm 217).

“Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi, maka pintu da’wah senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap (tertulis tetapi) dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia.” (Hlm. 217).

Tentang neraka, Hamka bertutur: “Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat esok, karena menolak kebenaran.” (Hlm. 218).

Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 Al-Baqarah dan ayat 69 Al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran, adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Mungkin tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Alquran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lihat. Al-Baqarah ayat 256 dan Yunus ayat 99).

Memang tafsir lain banyak yang sependirian dengan Buya Hamka, tetapi keterangannya tidak seluas dan seberani yang Buya Hamka berikan. Kita berharap agar siapa pun akan menghormati otoritas Buya Hamka, sekalipun tidak sependirian.