Hakikat Muhammad Sebagai Nabi Yang Ummi

Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai Nabi yang ummi. Kata “ ummi” itu tidak saja mempunyai pengertian seperti yang selama ini dikenal umum, yaitu tidak bisa membaca, menulis, atau buta huruf, tetapi kata ummi juga mengandung banyak sekali penafsiran. Antara lain : seperti orang yang baru keluar dari perut seorang ibu yang belum tahu apa-apa alias polos, suci bersih ( ummi: ibu), penduduk lokal yang belum bersentuhan dengan skrip, tidak seperti keluarga Yahudi atau Nasrani, Nabi untuk seluruh umat, atau bukan orang yang pernah masuk sekolah ( belajar dan diajar).
Jika kita menggunakan standar yang umum, kata yang dipilih oleh Al-Qur’an atau yang dipilih oleh Nabi itu sangat khas ( ingat bahwa para Nabi berkata tidak dengan hawa nafsunya akan tetapi dengan wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya). ( mungkin ) , karena akan berimplikasi pada hukum atau akan dijadikan sebagai pedoman/penilaian terhadap skala perilaku manusia. Terkadang ada yang disebut muhkamat ( pengertian definitive) dan terkadang ada yang mutasyabihat (mengandung banyak penafsiran).
Satu dari sekian banyak kelebihan Al-Qur’an dari sisi bahasa, adalah adanya kata yang memiliki kapasitas untuk mengakomodasi sekian penafsiran ( hammalatul wujuh). Takwa bisa diartikan takut, taat, atau terjaga. Syukur bisa diartikan terbuka, rindang dan berterima kasih. Shalat bisa diartikan doa, hubungan dan bisa juga komunikasi.
Dari penjelasan sejumlah pakar agama yang dapat kita ikuti karya-karyanya , ternyata keragaman arti itu juga memiliki korelasi, baik sebab akibat atau lainnya, yang kemudian menawarkan kesimpulan tak terbatas juga. Dengan hati yang terbuka, kita dapat selalu berterima kasih (pandai bersyukur), maka keberadaan kita seperti pohon yang rindang, misalnya begitu.
Demikian juga kata ummi. Setiap arti yang dikandung sepertinya sudah dirancang untuk membuka sekian perspektif, makna, alasan, dan tujuan. Kita tidak bisa menyalahkan orang yang mengatakan beliau tidak bisa membaca atau menulis karena ummi. Bisa jadi itu mengandung kebenaran juga untuk meng-counter tuduhan bahwa Al-Qur’an itu bukan rekayasa Nabi Muhammad SAW.
Tapi, disisi lain, tak bisa juga kita membangun kesimpulan bahwa mentang-mentang Nabi ummi, lantas itu kita tafsirkan bahwa beliau bodoh. Ini bertentangan dengan kenyataan. Sekafir-kafirnya orang, tak akan punya alasan yang valid untuk mengatakan Muhammad itu bodoh ( julukan untuk orang yang tak bisa membaca/menulis).
Apa yang bisa kita maknai dari ke ummi an Nabi di sini adalah pentingnya kita menciptakan perasaan secara sadar bahwa kita belum tahu apa-apa/belum tahu seluruhnya, membebaskan diri dari opini/keyakinan yang membatasi langkah, menahan diri jangan sampai otak kita dipenuhi penilaian.
Ummi adalah pondasi memotivasi diri. Sadar belum tahu seluruhnya, akan membuat kita menambah pengetahuan dengan ber-iqro, belajar dari orang, objek, atau keadaan. Begitu kita sudah merasa tahu seluruhnya, pintu ber- iqro akan tertutup. Kita tidak tahu apa yang dilakukan Malaikat Jibril seandainya Nabi berposisi seolah –olah lebih tahu atau sudah tahu seluruhnya mengenai isi wahyu itu.
Membebaskan diri dari opini dan keyakinan yang membatasi itulah maknanya mengosongkan diri sehingga ketika kosong akan di isi oleh hikmah-hikmah dari-NYA. Dengan demikian akan mendorong kita untuk bereksplorasi, bereksperimentasi, dan beraktualisasi diri. Begitu kita yakin bahwa kita pasti tidak bisa meraih apa yang kita inginkan, keyakinan itulah yang membuat kita gagal. Semua pakar pendidikan sepakat bahwa manusia yang paling kreatif adalah bayi yang tidak punya opini atau keyakinan apa apa ( ummi).
Mengosongkan hati, pikiran dari menilai keadaan, objek, atau orang secara berlebihan, akan membuat hati dan pikiran kita bisa fokus pada apa yang bisa kita lakukan dan apa yang perlu kita hindari. Begitu hati banyak keinginan dan otak pikiran banyak menilai, kita hanya cenderung akan membahas, menimbang, membicarakan, mendebatkan, tetapi tidak mengamalkan atua melakukan.
Jadi, marilah kita menjadi “ ummi” , supaya Allah Tuhan yang Maha berpengetahuan memberikan “ wahyu“ berupa pengetahuan, solusi, kreativitas, keberanian, diri yang baru, nasib dan seterusnya. Seperti kata para ahli , yang membuat kita tidak maju maju bukanlah karena kita tidak mampu, tapi karena kita terbelenggu oleh opini, penilaian, dan keyakinan. Masukilah wilayah-wilayah pengetahuan segar ke dalam diri, karena gurunya, muridnya, sekolahnya, kurikulumnya, semua ada di sebuah tempat rahasia : di dalam ”Gua Hira Diri Pribadi Yang Sejati”