HAKEKAT I'TIKAF
I'tikaf , berasal dari bahasa Arab akafa yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga mutakif.
“Janganlah kalian mencampuri mereka (istri), sedang kalian sedang i’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah: 187)
Ayat tersebut menjadi pembatas bahwa I’tikaf itu hanya disyariatkan dilakukan di (dalam) masjid dan tidaklah dikatakan i’tikaf menurut syara’ jika dilakukan di balai, surau, mushalla dan lainnya.
Hal-hal yang diharus dijauhi oleh mu’takifin (orang-orang yang I’tikaf)
“Dan menjadi sunnah bagi orang yang I’tikaf bahwa hendaknya ia tidak keluar kecuali karena hajat yang diperlukan, dan janganlah ia pergi untuk menjenguk orang sakit dan janganlah menyentuh wanita (istrinya) dan bermesraan dengannya dan tidak sah I’tikaf kecuali di masjid dan termasuk sunnah bagi siapa yang I’tikaf hendaknya ia berpuasa” (HR. Al-Baihaqi)
Syeikh Shalih al-Utsaimin berkata :
“Keluarnya orang yang I’tikaf, yakni keluar dengan alasan/maksud yang tidak syar’i maka ini membatalkan I’tikafnya baik disyaratkan ataupun tidak seperti keluarnya untuk berjual-beli, bermain, mengunjungi dan berkumpul dengan keluarganya dan sebagainya.” (Syarh al-Mumthi’, 6/25)
Istilah masjid dalam bahasa Arab berasal dari sajada yang berarti bersujud (menyembah). Kata sajada yang mendapat awalan ma sehingga membentuk kata masjid mengandung arti tempat sujud, tempat ber-Ibadah kepada Allah.
Hadits yang diriwayatkan Turmudzi dari Abi Sa’id al-khudri yang berbunyi bahwa “TIap potong tanah itu adalah masjid.” Selain itu dalam hadits yang lain Nabi Muhammad saw menerangkan bahwa “telah dijadikan tanah itu masjid bagiku tempat sujud.”
Dari keterangan kedua hadits tersebut jelas bahwa arti masjid itu sebenarnya adalah tempat sujud, bukan hanya sebatas sebuah gedung atau bangunan atau tempat ibadat yang tertentu seperti yang digunakan pada umumnya dewasa ini. Masjid dewasa ini digunakan dalam arti khusus yang menunjuk pada suatu bangunan, perumahan, atau gedung yang digunakan untuk tempat mengerjakan sembahyang atau solat.
“Ada tujuh golongan yang akan Allah naungi mereka pada hari tiada naungan selain naungan Allah yaitu: diantaranya : “.....dan seorang yang Hatinya terikat dengan Masjid…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Qalbu adalah masjid, tempat sujud, tempat mengingat Allah. Jadi ber i'tikaf lah di dalam Qalbu, dan tutuplah pintunya, jangan lah keluar dari Qalbu, untuk memikirkan jual beli, main-main, memikirkan wanita, keluarga dan sebagainya.
“Yaitu orang-orang yang beriman dan Qalbu mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah lah Hati menjadi tentram.” (QS Ar-Ra’d: 28)
Tempat beribadah kepada Allah yang sesungguhnya bukanlah di sebuah bangunan fisik yang terbatas, karena Allah tidaklah ber-bentuk fisik yang terbatas. Jadi untuk berhubungan dengan Allah yang tak terbatas, kita harus mengunakan tempat yang tak terbatas pula, tempat itu adalah Qalbu, dan pintu-pintu Hati adalah panca inderawi kita. Maka masuklah menuju Masjid (tempat sujud) Qalbu dengan cara menutup panca inderawi kita, masuklah ke dalam Qalbu lalu ber-Iktikaf-lah, raihlah Cahaya Lailatul Qodar, Cahaya Seribu Bulan, Cahaya diatas Cahaya.
QS Al-Qadr ayat 1-5 : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya saat Lailatul Qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit Cahaya fajar. ”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ‘itikaf secara hakekat adalah suatu proses menghalangi diri dari beraktivitas mulai dari aktifitas mendengar, melihat, mengucap, dan mengecap, sehingga aliran kesadaran yang mengalir melalui lubang inderawi terkumpul di pusat sujud dengan tujuan mendapatkan Cahaya Lailatul Qadar yang lebih Terang dari Cahaya Seribu Bulan.