Dalam Al Qur’an diceritakan tentang kekhawatiran para malaikat, karena mereka mensinyalir bahwa apabila manusia diturunkan ke muka bumi, maka ia akan banyak melakukan kerusakan dan kemungkaran, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya. Oleh sebab itu, Allah telah membekali setiap Khalifah-Nya dengan ilmu pengetahuan agar ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang dapat dipelajari dari dirinya, Kitab-Kitab Suci-Nya maupun dari alam semesta. Kecenderungan sifat baik dan sifat buruk tersebut, pada hakikatnya adalah fitrah dari setiap manusia yang terlahir di dunia ini sesuai dengan firman Allah :
“…….. Allah telah mengilhamkan kepada setiap jiwa itu kefasikan dan ketakwaan”. (QS As Syam 91 : 8)
Berdasarkan firman Allah tersebut, setiap manusia yang lahir telah mempunyai potensi untuk berbuat fujur (sifat merusak) maupun berbuat ketakwaan (sifat memelihara). Dua potensi tersebut haruslah diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar dalam perjalanan hidupnya, setiap manusia terhindar dari kerusakan dan kemungkaran. Setiap manusia diharapkan menumbuhkan dan mengembangkan potensi atau sifat-sifat kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam setiap aktivitas kehidupannya, hal ini sesuai dengan firman Allah :
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS As Syam 91 : 9-10)
Kebersihan dan kekotoran jiwa seseorang memang sulit dicari tolak ukurnya, tetapi minimal dapat dilihat dan tercermin dari tingkah laku yang selalu mengandung nilai-nilai keterpujian atau nilai-nilai ke-muhammad-an, baik lahir maupun batin. Kekotoran jiwa biasanya disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap apa yang diterimanya. Dengan adanya rasa ketidakpuasan tersebut , membuat orang akan berusaha untuk mendapatkan yang lebih, yang kadang tanpa adanya pengendalian diri sehingga menimbulkan adanya sikap dan sifat yang kurang terpuji. Padahal Allah telah memberikan sedemikian banyak nikmat kepada setiap umat manusia dengan kadarnya masing-masing dan apa yang telah ditetapkan-Nyaitu adalah cukup, untuk setiap manusia secara individu. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :
“…..pada hari, telah Ku sempurnakan untuk kamu Ad-Din mud an telah Ku cukupkan nikmat-Ku kepadamu…..”. (QS Al Maidah 5 : 3)
Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Allah telah mencukupkan nikmat-Nya setiap hari kepada setiap umat manusia, baik berupa nikmat sehat, nikmat rezeki, nikmat prestasi, nikmat kerohanian dan banyak lagi nikmat-nikmat Allah lainnya. Dan yang harus disadari oleh setiap manusia adalah bahwa kadar atau besarnya nikmat dari Allah yang didapatkan oleh setiap manusia itu adalah berbeda-beda dan kita harus mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah pada hari ini, karena hal itu adalah cukup bagi kita.
Kata syukur berasal dari bahasa Arab, yang artinya “terbuka”. Jadi orang yang selalu bersyukur adalah orang yang qalbunya selalu terbuka untuk menerima segala macam nikmat yang diturunkan oleh Allah kepada dirinya, apakah nikmat itu bersifat anugrah atau yang bersifat musibah sekalipun. Orang yang bersyukur adalah orang legowo atau orang yang berlapang dada dalam menerima berbagai macam nikmat, apapun bentuknya. Mendapat nikmat sehat, dia bersyukur, mendapat nikmat sakit, diapun selalu bersyukur. Karena semuanya itu adalah nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya.
Terkadang kita berharap atau menginginkan mendapat nikmat rezeki yang besar pada hari ini, tetapi ternyata justru mendapatkannya sangat sedikit sehingga kita menjadi kecewa atau melakukan tindakan yang tercela untuk mendapatkan nikmat rezeki yang lebih besar lagi, dengan anggapan bahwa rezeki yang banyak lebih baik daripada rezeki yang sedikit. Padahal belum tentu apa yang dianggap baik oleh kita, akan baik dimata Allah, atau sebaliknya, apa yang kita anggap tidak baik, belum tentu tidak baik dimata Allah.
“Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS Al Baqarah 2 : 216)
Ayat tersebut dengan tegas mengatakan bahwa Allah Maha Mengetahui akan segala sesuatu, sedang umat manusia kebanyakan tidak mengetahui. Oleh sebab itu manusia diharapkan untuk bersabar dengan apa yang terjadi pada dirinya, dan yang lebih penting lagi adalah kita harus berprasangka baik kepada Allah apabila sekiranya kita diberi ujian atau musibah, sebab hal itu bisa jadi adalah hal yang terbaik buat kita, di akhir dari proses ujian tersebut, sesuai dengan firman-Nya :
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS Al Nasyrah 94 : 5-6)
Di akhir tulisan ini, marilah kita renungkan firman Allah dalam surat Ad Dhuha 93 : 1-5 :
“Demi waktu terang Cahaya Matahari yang naik. Dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu. Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga hati kamu menjadi bahagia”.
“…….. Allah telah mengilhamkan kepada setiap jiwa itu kefasikan dan ketakwaan”. (QS As Syam 91 : 8)
Berdasarkan firman Allah tersebut, setiap manusia yang lahir telah mempunyai potensi untuk berbuat fujur (sifat merusak) maupun berbuat ketakwaan (sifat memelihara). Dua potensi tersebut haruslah diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar dalam perjalanan hidupnya, setiap manusia terhindar dari kerusakan dan kemungkaran. Setiap manusia diharapkan menumbuhkan dan mengembangkan potensi atau sifat-sifat kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam setiap aktivitas kehidupannya, hal ini sesuai dengan firman Allah :
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS As Syam 91 : 9-10)
Kebersihan dan kekotoran jiwa seseorang memang sulit dicari tolak ukurnya, tetapi minimal dapat dilihat dan tercermin dari tingkah laku yang selalu mengandung nilai-nilai keterpujian atau nilai-nilai ke-muhammad-an, baik lahir maupun batin. Kekotoran jiwa biasanya disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap apa yang diterimanya. Dengan adanya rasa ketidakpuasan tersebut , membuat orang akan berusaha untuk mendapatkan yang lebih, yang kadang tanpa adanya pengendalian diri sehingga menimbulkan adanya sikap dan sifat yang kurang terpuji. Padahal Allah telah memberikan sedemikian banyak nikmat kepada setiap umat manusia dengan kadarnya masing-masing dan apa yang telah ditetapkan-Nyaitu adalah cukup, untuk setiap manusia secara individu. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :
“…..pada hari, telah Ku sempurnakan untuk kamu Ad-Din mud an telah Ku cukupkan nikmat-Ku kepadamu…..”. (QS Al Maidah 5 : 3)
Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Allah telah mencukupkan nikmat-Nya setiap hari kepada setiap umat manusia, baik berupa nikmat sehat, nikmat rezeki, nikmat prestasi, nikmat kerohanian dan banyak lagi nikmat-nikmat Allah lainnya. Dan yang harus disadari oleh setiap manusia adalah bahwa kadar atau besarnya nikmat dari Allah yang didapatkan oleh setiap manusia itu adalah berbeda-beda dan kita harus mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah pada hari ini, karena hal itu adalah cukup bagi kita.
Kata syukur berasal dari bahasa Arab, yang artinya “terbuka”. Jadi orang yang selalu bersyukur adalah orang yang qalbunya selalu terbuka untuk menerima segala macam nikmat yang diturunkan oleh Allah kepada dirinya, apakah nikmat itu bersifat anugrah atau yang bersifat musibah sekalipun. Orang yang bersyukur adalah orang legowo atau orang yang berlapang dada dalam menerima berbagai macam nikmat, apapun bentuknya. Mendapat nikmat sehat, dia bersyukur, mendapat nikmat sakit, diapun selalu bersyukur. Karena semuanya itu adalah nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya.
Terkadang kita berharap atau menginginkan mendapat nikmat rezeki yang besar pada hari ini, tetapi ternyata justru mendapatkannya sangat sedikit sehingga kita menjadi kecewa atau melakukan tindakan yang tercela untuk mendapatkan nikmat rezeki yang lebih besar lagi, dengan anggapan bahwa rezeki yang banyak lebih baik daripada rezeki yang sedikit. Padahal belum tentu apa yang dianggap baik oleh kita, akan baik dimata Allah, atau sebaliknya, apa yang kita anggap tidak baik, belum tentu tidak baik dimata Allah.
“Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS Al Baqarah 2 : 216)
Ayat tersebut dengan tegas mengatakan bahwa Allah Maha Mengetahui akan segala sesuatu, sedang umat manusia kebanyakan tidak mengetahui. Oleh sebab itu manusia diharapkan untuk bersabar dengan apa yang terjadi pada dirinya, dan yang lebih penting lagi adalah kita harus berprasangka baik kepada Allah apabila sekiranya kita diberi ujian atau musibah, sebab hal itu bisa jadi adalah hal yang terbaik buat kita, di akhir dari proses ujian tersebut, sesuai dengan firman-Nya :
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS Al Nasyrah 94 : 5-6)
Di akhir tulisan ini, marilah kita renungkan firman Allah dalam surat Ad Dhuha 93 : 1-5 :
“Demi waktu terang Cahaya Matahari yang naik. Dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu. Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga hati kamu menjadi bahagia”.
WAHDATUL ADDIN