Dalam perang Uhud, pasukan Muslim mengalami kekalahan yang disebabkan oleh tidak disiplinnya pasukan pemanah dalam mematuhi perintah Nabi Saw. Banyak sahabat Nabi Saw yang gugur, bahkan Nabi Saw sempat mengalami luka.
"Dari Sahl RA, ia berkata, “Tatkala pecah pelindung kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajah beliau berdarah dan pecah gigi seri beliau Ali bolak-balik mengambil air dengan menggunakan perisai (sebagai wadah air) dan Fatimah mencuci darah yang ada di wajah beliau. Tatkala Fatimah melihat darah semakin banyak lebih daripada airnya maka Fatimahpun mengambil hasir (yaitu tikar yang terbuat dari daun) lalu diapun merobeknya dan menempelkan robekan tersebut pada luka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berhentilah aliran darah” (HR. Bukhari no 2903)
Hadits diatas adalah salah satu dalil yang menunjukkan bahwa seorang Nabiyullah itu adalah basyar atau manusia biasa seperti manusia pada umumnya.
"Katakanlah : Sesungguhnya aku manusia biasa seperti kamu........". (QS. Al Kahfi 18 : 110)
Imam Muslim didalam Sahihnya juga meriwayatkan bahwa pada perang Uhud Rasulullah menderita luka dirahang hingga retak, dari bagian kepala didapati bahwa beliau juga mendapati bahwa kepalanya bocor dan mengalirkan darah. Demikian berat luka yang diterima oleh Rasulullah, sampai beliaupun bersabda “ Bagaimana mungkin akan menang suatu kaum yang melukai Nabi mereka dan mematahkan rahangnya padahal ia mengajak kepada Allah”. Sedangkan dibagian bawah tubuhnya, Rasulullah SAW mengalami luka di lutut akibat terperosok pada sebuah lubang yang digali oleh kaum Qurais atas usul dari Abu Amir Al Fasiq
Sedangkan kening Rasulullah SAW tergores oleh sabetan pedang musuh dan mengalirkan darah hingga membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan bibir beliau, mengalami sebuah sobekan dan hidungnya juga terluka.
Pasca dari perang Uhud Rasulullah tidak kuat berdiri lama karena tubuh yang sangat lemas dan tidak bertenaga. Dan saat memimpin sholat maka beliau melakukannya dengan duduk yang kemudian diikuti oleh para sahabat yang sholat dengan duduk pula. Apabila hendak bangkit maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah duduk dibawah Rasulullah kemudian dia membantunya untuk mengangkat Rasulullah bangkit dari tempat duduknya.
Kalau Rasulullah SAW saja diuji maka bagaimana dengan kita ?. Pantaskah kita mengharap Nurul Jannah dan mengaku beriman, bila hidup kita tidak pernah diuji. Sesungguhnya dunia ini adalah rumah ujian dan akhirat adalah rumah peristirahatan.
Mungkin timbul pertanyaan dalam hati kita, kalau beliau adalah manusia biasa seperti kita pada umumnya yang bisa terluka, sakit dan mendapatkan ujian-ujian dalam hidup beliau, kemudian apa bedanya dengan kita ? Dan apa pula keistimewaan beliau ?
Yang membedakan seorang Nabi dengan orang awam adalah seorang Nabi itu telah mendapat wahyu yang menegaskan bahwa Tuhan itu Maha Esa dan untuk mendapatkan Wahyu tersebut seorang nabi mencontohkan agar setiap manusia mengerjakan amalan sholihah. Mendapatkan Wahyu itulah mu'jizat terbesar yg diterima seorang Nabi dari Allah.
"Katakanlah : Sesungguhnya aku manusia biasa seperti kamu. Diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amalan sholiha .......". (QS. Al Kahfi 18 : 110)
Kita sebagai pengikut seorang Nabi, diwajibkan menguswah beliau (QS 33 : 21) agar menjadi pewaris para Nabi dan sehingga berhak menyandang gelar Wali Allah di muka bumi.
Yang namanya Wali Allah itu juga manusia biasa dan tidak semuanya punya karomah dan tidak semuanya mempunyai mata batin yang khowas. Tetapi yang harus diingat, belum tentu Wali Allah yang mempunyai karomah itu, tingkatannya lebih tinggi dari Wali Allah yang tidak mempunyai karomah, karena dalam dunia Kewalian, Istiqomah itu lebih baik dari seribu karomah.
Begitu juga Wali Allah yang mempunyai mata batin yang khowas itu belum tentu lebih tinggi tingkatannya dari Wali Allah yang tidak mempunyai mata batin yang khowas, karena Wali Allah yang punya mata batin yang khowas itu bisa melihat cela orang lain, tapi kesulitan melihat celanya sendiri, sedangkan Wali Allah yang tidak mempunyai mata batin yang khowas, malah tidak pernah mencela orang, karena ia tidak melihat cela orang lain sedikitpun.